Selasa, 31 Januari 2012

KREATIVITAS DAN ANAK USIA DINI


Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah populasi di Indonesia juga ikut meningkat. Akan tetapi, peningkatan jumlah populasi yang ada tidak diiringi dengan peningkatan jumlah dan ragam dari pekerjaan sehingga dapat dilihat bahwa angka pengangguran yang terjadi juga makin bertambah. Di samping itu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat beragam mesin yang dapat membantu pekerjaan manusia. Hal tersebut membuat kesempatan memperoleh lapangan pekerjaan makin sedikit karena tak jarang banyak perusahaan yang lebih memilih menggunakan mesin yang mampu berproduksi lebih banyak dalam jumlah yang singkat dibandingkan dengan tenaga manusia. Keseluruhan hal tersebut menuntut manusia untuk memikirkan hal-hal baru yang dapat membantu kehidupan mereka.


Pemikiran-pemikiran untuk menghasilkan hal-hal yang baru sebenarnya lahir dari pemikiran manusia untuk memikirkan sesuatu secara berbeda dengan yang telah ada. Dalam hal ini, pemikiran yang baru tersebut bisa saja merupakan pemikiran yang benar-benar baru ataupun penggabungan dari beberapa pemikiran yang sudah ada sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam konsep ini, sebenarnya manusia dituntut untuk menjadi kreatif atau berpikir secara divergen untuk memperoleh berbagai kemungkinan jawaban atas suatu permasalahan yang terjadi. Pemikiran kreatif tidak dilahirkan begitu saja, tetapi melalui beberapa proses baik dari segi kognitif, emosi, maupun kepribadian. Hasil dari pemikiran-pemikiran kreatif ini nantinya dapat membantu manusia dalam memecahkan persolannya, termasuk membantu orang lain dalam hal membuka lapangan pekerjaan baru.
Kreativitas bukanlah sesuatu yang terbentuk dengan sendirinya. Lingkungan memiliki andil yang cukup penting dan besar dalam pengembangan kreativitas. Lingkungan anak bukan hanya keluarga tetapi juga sekolah, termasuk di dalamnya pola asuh orang tua, kurikulum yang ada dan cara/metode pengajaran dari guru akan menunjang kreativitas anak. Anak yang sejak usia dini telah diberikan bekal untuk memupuk kreativitas akan mampu menghasilkan berbagai hal-hal yang keatif dan inovatif dalam hidupnya kelak ketika dewasa. Hal tersebut mengindikasikan betapa pentingnya materi kreativitas ini diberikan sebagai bekal bagi para guru dan pendidik untuk mengembangkan kreativitas anak melalui pengajaran dan lingkungan yang kreatif pula. apakah kreativitas itu? bagaimana cari orang yang kreatif? dan bagaimana cara mengembangkan kreativitas?


              A. HAKIKAT KREATIVITAS
              1. Definisi Kreativitas
Kata kreativitas berasal dari bahasa Latin creâtus dan creâre yang berarti membuat menghasilkan. Kata kreativitas tersebut pertama kali disebutkan dalam pidato J.P Guilford pada pidatonya untuk American Psychological Association di tahun 1950. Kamus psikologi perkembangan dan pendidikan di tahun 1986 mendefinisikan kreativitas sebagai kapasitas individu untuk menghasilkan ide-ide, insight, dan penemuan atau objek seni baru, yang dapat diterima secara sosial, spiritual, seni, keilmuwan, maupun teknologi (Piirto, 2004).
Santrock dalam Sujiono & Sujiono (2010:38) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan individu untuk melahirkan cara-cara dan berbagai ide-ide baru dan tidak biasa untuk memecahkan persoalan yang terjadi. Mayesti dalam Sujiono & Sujiono (2010:38) memandang kreativitas sebagai kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk menemukan sesuatu yang original dan bernilai/berguna baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.  Susanto (2011) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan individu untuk menciptakan sesuatu yang baru, baik dalam bentuk produk atau gagasan baru, yang dapat diterapkan dalam memecahkan masalah.
2.       Berbagai Pandangan Mengenai Kreativitas
Pandangan kreativitas berdasarkan beberapa pendekatan, antara lain:
a.       Pendekatan Psikoanalisis
Jamaris (2010) menyatakan bahwa pandangan yang berasal dari aliran psikoanalisis memandang kreativitas sebagai proses pelepasan kontrol ego yang memungkinkan ambang sadar manusia terungkap secara bebas seperti yang diwujudkan melalui berbagai karya, misalnya lukisan. Susanto (2011) mengemukakan beberapa tokoh dari pendekatan ini, yaitu: Sigmund Freud, Erns Kris, dan Carl Gustav Jung. Freud memandang proses kreatif dari mekanisme pertahanan diri, dimana meskipun kebanyakan mekanisme pertahanan diri bersifat menghambat tindakan kreatif, tetapi mekanisme sublimasi justru merupakan penyebab utama munculnya tindakan kreatif yang awalnya berasal dari kebutuhan seksual yang tidak dipenuhi dan menjadi awal dari imajinasi. Erns Kris memandang bahwa mekanisme pertahanan regresi seiring dengan munculnya tindakan kreatif. Orang yang kreatif adalah mereka yang mampu “memanggil” bahan dari alam pikiran tidak sadar. Orang yang kreatif tidak mengalami hambatan untuk bisa “seperti” anak dalam pemikirannya. Mereka dapat mempertahankan “sikap bermain” dalam kehidupannya, sehingga mampu melihat berbagai masalah dengan cara yang inovatif. Mereka melakukan regresi demi bertahannya ego. Munandar (2009) menyatakan bahwa Carl Jung mempercayai ketidaksadaran memainkan peranan yang penting dalam kemunculan kreativitas tingkat tinggi pada individu. Alam pikiran yang tidak disadari dibentuk oleh masala lalu pribadi dan secara tidak sadar manusia mengingat pengalaman-pengalaman yang paling berpengaruh pada nenek moyang. Dari ketidaksadaran kolektif muncul penemuan, teori, seni, dan karya-karya baru lainnya.
b.      Pendekatan Humanistik
Jamaris (2010) menyatakan bahwa pendekatan ini memandang kreativitas sebagai salah satu aspek kepribadian yang berkaitan dengan aktualisasi diri. Susanto (2011) menyebutkan tokoh dari pendekatan ini, antara lain: Abraham Maslow dan Carl Roger. Maslow berpandangan bahwa manusia memiliki berbagai naluri dasar yang menjadi nyata sebagai kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki urutan yang hierarki, dimana kebutuhan fisik/biologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa dimiliki dan cinta serta kebutuhan akan dan harga diri merupakan kebutuhan deficiency. Kebutuhan aktualisasi diri dan estetik merupakan kebutuhan being, dimana proses perwujudan diri ini erat kaitannya dengan kreativitas. Munandar (1999) menyatakan bahwa kreativitas merupakan manifestasi dari diri individu yang berfungsi sepenuhnya dalam perwujudan dirinya. Orang yang memiliki mental yang sehat, bebas dari hambatan-hambatan dan dapat mewujudkan diri sepenuhnya. Dalam hal ini, individu tersebut akan berhasil mengembangkan dan menggunakan semua bakat dan kemampuannya dan dengan demikian memperkaya hidupnya. Rogers menyebutkan tiga kondisi internal dari pribadi yang kreatif, antara lain: terbuka terhadap pengalaman, kepuasan diri seseorang tergantung pada apa yang dilakukannya, serta kemampuan untuk bereksperimen, menggabungkan semua konsep dan elemen-elemen secara berarti. Individu yang memiliki ciri-ciri seperti di atas akan berfungsi sepenuhnya sehingga menghasilkan suatu ide atau karya yang kreatif. Cziksentmihalyi menyebutkan beberapa ciri yang menandai individu kreatif, antara lain: (1) predisposisi genetis dimana orang yang lebih peka terhadap warna misalnya, lebih mudah menjadi pelukis, (2) minat pada usia dini pada ranah tertentu, (3) minat menyebabkan seseorang terlibat secara mendalam pada ranah tertentu sehingga mencapai kemahiran dan keunggulan kreativitas, (4) akses terhadap suatu bidang, (5) adanya sarana/prasarana serta ada Pembina/mentor yang diminati akan membantu pengembangan bakat, (6) akses ke lapangan, (7) kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman sejawat, dan mampu menyesuaikan diri terhadap berbagai situasi dan melakukan apa yang diperlukan untuk mencapai tujuannya.

c.       Pendekatan psikometri
Jamaris (2010) mengemukakan dua tokoh yang berpengaruh dalam pendekatan ini yaitu J.P Guilford dan E. Paul Torrance. Pada pendekatan ini, kreativitas yang dimiliki oleh seseorang diukur melalui hasil tes kreativitas yang diberikan kepadanya.  Guilford mengembangkan teori struktur intelektual yang salah satunya adalah proses berpikir divergen. Proses berpikir divergen merupakan proses yang menekankan pada perevisian apa yang telah diketahui, mengeksplorasi informasi yang telah diketahui, dan membangun informasi yang baru. Orang-orang yang cenderung menggunakan pola berpikir divergen akan mampu mengambil resiko. Istilah-istilah yang digunakan Guilford dalam mengembangkan kreativitas, anatara lain: fluency (kelancaran), novelty (kebaruan), flexibility, kemampuan mensintesis, kemampuan menganalisis, kemampuan mengorganisasi kembali atau mendefinisikan kembali ide-ide yang telah ada, tingkat kompleksitas, dan evaluasi. Sedangkan Torrance mengembangkan tes yang dapat mengukur kreativitas berdasarkan pandangan dari Guilford sehingga alat tes yang dibuat juga melibatkan penilaian seperti kelancaran, fleksibilitas

d.      Teori belahan otak
McCallum dan Glynn dalam Jamaris (2010) menyatakan bahwa Hemispheric SpecializationTheory merupakan teori yang berasal dari hasil kajian mengenai fungsi-fungsi belahan otak (hemisfer), baik belahan otak kanan maupun belahan otak kiri, dimana kedua belahan otak tersebut berfungsi secara khusus dalam memproses informasi-informasi yang diterima oleh otak. Belehan otak kiri berfungsi untuk memproses informasi-informasi yang berkaitan dengan verbal dan menghendaki proses berpikir secara analisis, abstrak, logis, dan kegiatan/prosedur yang mengandung urutan. Belahan otak kiri juga mengatur kegiatan tubuh bagian kanan. Bagian otak kanan berfungsi memproses informasi-informasi yang bersifat non verbal, menghendaki proses berpikir secara holistik, intuitif, dan imajinatif. Bagian otak kanan berfungsi mengontrol kegiatan tubuh bagian kiri. Hasil kerja belahan otak bagian kanan salah satunya adalah menciptakan hal-hal yang baru, misalnya karya lukis yang baru. Kedua belahan otak sebenarnya saling bekerja sama dalam memperoleh informasi yang diterima, hal ini disebabkan karena kedua belahan otak tersebut terhubung melalui syaraf-syarafyang terdapat di corpus callosum. Kedua belahan otak ini memiliki cara yang berbeda dalam mengolah dan menyelesaikan tugas-tugas yang harus dilakukan.
Jamaris (2010) menyatakan bahwa orang yang kreatif lebih dominan menggunakan bagian otak kiri dibandingkan dengan bagian otak kanan. sebaliknya, individu yang berpikir  logis dan rasional lebih dominan menggunakan fungsi otak bagian kiri dibandingkan dengan belahan bagian kanan.

e.    Model Integratif
     Clark yang dikutip dalam Jamaris (2010) menyatakan bahwa kreativitas merupakan ekspresi tertinggi dari kemampuan individu yang masuk ke dalam kelompok berbakat (gifted) yaitu individu yang memiliki tingkat inteligensi 130-150.

            3.    Proses Kreativitas
       Wallas dalam Piirto (2004) mengemukakan beberapa tahapan/proses kreatif, yaitu:
a. Tahap persiapan dimana individu mengumpulkan informasi-informasi yang berkaiatan dengan masalah yang sedang dipecahkan.
b. Tahap inkubasi, informasi yang telah terkumpul kemudian berusaha dipahami keterkaitan nya oleh individu dalam rangka pemecahan masalah.
c.  Tahap iluminasi yaitu penemuan cara-cara yang perlu dilakukan untuk memecahkan masalah.
d.  Tahap verifikasi, yaitu kegiatan yang berkaitan dengan usaha untuk mengevaluasi apakah langkah-langkah yang akan digunakan dalam pemecahan masalah akan memberikan hasil yang sesuai.
B.      KARAKTERISTIK KREATIVITAS/INDIVIDU KREATIF
Guilford dalam Susanto (2011) mengemukakan beberapa ciri berpikir kreatif dalam kreativitas, yaitu:
1. Kelancaran (fluency) yang merupakan kemampuan untuk menghasilkan banyak  gagasan.
2. Keluwesan (flexibility) yang merupakan kemampuan untuk mengemukakan variasi pemecahan atau pendekatan terhadap masalah yang terjadi.
3.   Keaslian (originality)yang merupakan kemampuan untuk mengemukakan gagasan/ ide-ide dengan cara-cara yang asli,baru, dan unik.
4.     Elaborasi (elaboration) yang merupakan kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terperinci, jelas, dan panjang lebar. William menambahkan bahwa kemampuan elaborasi termasuk juga mampu mengembangkan gagasan atau produk dan menambahkan detail pada suatu objek/gagasan/situasi sehingga menjadi lebih menarik.
5.    Merumuskan kembali (redefinition) yang merupakan kemampuan untuk melihat sebuah masalah dari sudut pandang yang berbeda dengan cara pandang yang telah banyak diketahui orang lain.
Selain ciri-ciri dari berpikir kreatif, perwujudan kreativitas juga memiliki ciri yang menyangkut sikap dan perasaan individu atau yang disebut dengan ciri afektif. Pendapat tersebut sejalan dengan model yang dikembangkan oleh Russ (Sharp, 2004) mengenai hubungan antara kreativitas dan proses psikologis yang melibatkan tiga komponen, yaitu:
1.  Trait-kepribadian meliputi sikap percaya diri, kemampuan menerima perbedaan, memiliki rasa ingin tahu, dan motivasi.
2.   Proses emosional yang meliputi fantasi emosional dalam bermain, suka terhadap tantangan, senang terlibat dalam beragam tugas, dan memiliki toleransi terhadap kecemasan
3.  Kemampuan kognitif yang meliputi kemampuan berpikir secara divergen, kemampuan berpikir transformatif, mengatur kemabali informasi yang telah ada, sensitiF terhadap masalah, kedalaman pengetahuan dan penilaian.
Jamaris (2010) mengemukakan bahwa selain kreativitas memiliki karakteristik seperti : kelancaran (memberikan jawaban dan mengemukakan ide dengan lancar), kelenturan (mengemukakan berbagai alternatif pemecahan masalah), keaslian (menghasilkan berbagai ide/karya yang asli hasil pemikiran sendiri), dan elaborasi (mampu memperluas ide dan aspek-aspek yang tidak terpikirkan oleh orang lain), karakteristik lainnya dari kreativitas adalah keuletan dan kesabaran. Selain itu, Jamaris juga menyebukan beberapa aspek yang memengaruhi kreativitas, antara lain:
1. Kemampuan kognitif, dimana kemampuan berpikir yang dapat mengembangkan kreativitas adalah kemampuan berpikir secara divergen. Kemampuan berpikir divergen merupakan kemampuan untuk memikirkan berbagai alternatif pemecahan masalah.
2.  Intuisi dan imajinatif, kreativitas berkaitan dengan belahan otak kanan, sehingga intuitif dan imajinatif merupakan aspek yang memengaruhi munculnya kreativitas
3. Penginderaan, dimana kepekaan dalam penginderaan membantu individu yang kreatif menemukan sesuatu yang tidak dapat dilihat atau dipikirkan oleh orang lain.
4. Kecerdasan emosi yang meliputi keuletan, kesabaran, dan ketabahan dalam menghadapi berbagai masalah dan situasi yang tidak menentu menjadi salah satu pendorong munculnya kreativitas.
Catron dan Allen dalam Sujiono & Sujiono (2010) mengemukakan beberapa indikator kreatif pada anak, yaitu: (1) anak memiliki keinginan untuk mengambil resiko berperilaku secara berbeda dan mencoba hal-hal yang baru dan sulit, (2) anak memiliki selera humor yang luar biasa dalam situasi sehari-hari, (3) anak berpendirian tetap, terang-terangan, dan memiliki keinginan untuk berbicara secara terbuka, (4) anak dapat melakukan hal-hal dengan caranya sendiri, (5) anak mengekpresikan imajinasi secara verbal seperti membuat cerita fantasi, (6) anak memiliki ketertarikan terhadap berbagai hal, memiliki rasa ingin tahu dan senang bertanya, (7) anak dapat berekplorasi secara sistematis dan yang disengaja dalam membuat rencana dari suatu kegiatan, (8) anak memiliki motivasi dan arah sendiri, memiliki imajinasi dan menyukai fantasi, (9) anak senang menggunakan imajinasinya terutama dalam bermain peran atau pura-pura, (10) anak menjadi inovatif, mampu menemukan sesuatu yang baru dan memiliki banyak sumber daya, (11) anak dapat bereksplorasi dan bereksperimen dengan objek , dan (12) anak bersifat fleksibel dan mampu mendesain sesuatu.
C.       PENGEMBANGAN KREATIVITAS
1.         Lingkungan Keluarga
Amabile dalam Munandar (2009) menyatakan bahwa beberapa sikap orang tua yang mempengaruhi kreativitas anak secara langsung, antara lain: kebebasan, respek, kedekatan emosional yang sedang, prestasi bukan angka, orang tua yang aktif dan mandiri, dan menghargai kreativitas.
Beberapa faktor dari orang tua yang memengaruhi kreativitas anak, antara lain: faktor pertama yaitu kebebasan. Orang tua yang percaya dan memberikan kebebasan kepada anak cenderung memiliki anak kreatif. Orang tua cenderung tidak bersikap otoriter terhadap anak, tidak selalu ingin mengawasi anak, dan tidak terlalu membatasi kegiatan anak. Faktor yang kedua adalah respek. Anak yang kreatif biasanya memiliki orang tua yang menghormati anak tersebut sebagai individu, mempercayai kemampuan dan menghargai kemampuan anak. Hal tersebut membuat anak-anak ini mengembangkan sikap percaya diri secara alamiah untuk berani melakukan sesutau yang orisinil. Factor ketiga adalah kedekatan emosional yang sedang. Suasana emosional yang mencerminkan rasa permusuhan, penolakan, atau rasa terpisah dapat menghambat kreativitas anak. Begitu juga dengan keterikatan emosional yang berlebihan. Hal tersebut terjadi karena adanya keterikatan emosional yang berlebihan membuat anak kurang memiliki kebebasan dan menjadi tergantung pada orang lain dalam mengambil keputusan. Anak perlu memiliki perasaan disayangi dan diterima tetapi sebaiknya tidak menjadi tergantung kepada orang tua. Faktor yang keempat adalah prestasi bukan angka. Orang tua anak yang kreatif biasanya menghargai prestasi anaknya. Mereka memberikan dorongan kepada anak agar anak berusaha sebaik-baiknya dan menghasilkan karya yang baik, tetapi tidak sampai menekan anak untuk mencapai nilai atau peringkat yang tinggi. Imajinasi dan kejujuran justru dinilai lebih penting dibandingkan dengan mencapai angka yang tinggi. Faktor kelima adalah orang tua aktif dan mandiri. Orang tua anak yang kreatif biasanya bersikap yakin dengan diri dan tidak memperdulikan atau terpengaruh pada status dan tuntutan sosial. Orang tua anak yang kreatif biasanya juga memiliki banyak minat dan kompeten, baik di dalam maupun di luar rumah. Faktor keenam adalah menghargai kreativitas. Anak yang kreatif biasanya memperoleh banyak dorongan dari orang tuanya untuk melakukan hal-hal yang kreatif, misalnya Charles Dickens, penulis buku cerita anak yang terkenal, sering mengunjungi teater ketika masih kecil, selain itu ayah dan pengasuhnya juga sering bercerita kepadanya.
       Munandar (2009) menyebutkan beberapa sikap orang tua yang mempengaruhi kreativitas anak, yaitu: (1) menghargai pendapat anak dan mendorong anak untuk mengungkapkan pendapatnya, (2) memberikan waktu kepada anak untuk berpikir, merenung, dan berkhayal, (3) membiarkan anak mengambil keputusannya sendiri, (4) mendorong rasa ingin tahu anak untuk mengekplorasi dan mempertanyakan banyak hal, (5) meyakinkan anak bahwa orang tua menghargai apa yang ingin anak lakukan dan apa yang ingin anak hasilkan, (6) menunjang dan mendorong kegiatan anak, (7) menikmati keberadaan bersama anak, (8) memberi pujian yang sungguh-sungguh kepada anak, (9) mendorong kemandirian anak dalam bekerja, dan (10) melatih hubungan kerja sama yang baik dengan anak.
       Munandar (2009) lebih lanjut mengemukakan beberapa sikap orang tua yang dapat menghambat pengembangan kreativitas anak, yaitu: (1) mengatakan akan menghukum anak jika melakukan kesalahan, (2) tidak membolehkan anak marah kepada orang tua, (3) tidak membolehkan anak mempertanyakan keputusan orang tua, (4) tidak mengizinkan anak bermain dengan anak yang berasal dari keluarga yang memiliki pandangan dan nilai yang berbeda, (5) melarang anak berisik, (6) mengawasi kegiatan anak dengan ketat, (7) memberi saran-saran spesifik dalam pengerjaan tugas, (8) menolak gagasan anak, (9) tidak sabar dengan anak, (10) mengadu kekuasaan dengan anak, dan (11) menekan serta memaksa anak menyelesaikan tugas.
2.         Lingkungan Sekolah
Mellow (Sharp, 2004) menyatakan bahwa kreativitas anak dapat dikembangkan dengan memperhatikan tiga hal, yaitu: lingkungan yang kreatif, program yang kreatif dan guru yang kreatif/ cara mengajar yang kreatif. Lingkungan yang kreatif adalah lingkungan yang mendorong anak untuk bermain. Peran bermain dalam kreativitas telah banyak menjadi topik pembicaraan. Anak-anak dan orang dewasa memerlukan jiwa bermain untuk memfasilitasi proses berpikir kreatif. Permainan imajinatif, misalnya bermain peran atau kegiatan yang dapat dipilih secara bebas oleh anak menjadi komponen utama dalam mengatur jalannya proses kreativitas pada anak. Karena dalam permainan tersebut memerlukan imajinasi, pemecahan masalah, berpikir secara divergen, kemampuan untuk mengekspresikan emosi dan mengambil pilihan.  Yang perlu diperhatikan adalah anak harus terlibat secara aktif dalam proses belajar mereka sendiri. Pengaturan lingkungan juga merupakan hal yang perlu diperhatikan, misalnya ukuran dan layout kelas, kualitas dari peralatan dan material yang digunakan, sert/ia kesempatan dan variasi dari lingkungan (misalnya dalam satu lingkungan indoor kelas, ada area balok, area membaca, dsb). Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah kurikulum yang kreatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sangat mungkin untuk meningkatkan kreativitas anak melalui program program khusus. Hal terakhir yang penting untuk diperhatikan adalah kreativitas dari guru dan cara mengajar yang kreatif. Kedua komponen ini merupakan hal yang penting dalam meningkatkan kreativitas anak. Beberapa ahli menyoroti peran guru dalam memberikan keseimbangan optimal antara struktur dan kebebasan berekspresi pada anak. Mereka menjelaskan bahwa guru dan pekerja anak usia dini lain dapat mendorong kreativitasa anak dengan perilaku seperti: memberikan pertanyaan yang bersifat terbuka, toleransi terhadap ambiguitas, memberikan contoh pemikiran dan perilaku kreatif, mendorong siswa dalam mencoba dan tekun, serta memuji anak-anak yang memberikan jawaban tak terduga. Runco (Sharp, 2004) menyatakan bahwa guru sebaiknya menunjukkan minat terhadap potensi kreativitas yang dimiliki oleh anak dan mendorong anak untuk menggali/mengeksplorasi sendiri pandangannya mengenai pengetahuan dan peristiwa yang terjadi. Guru, sebagai orang dewasa menjadi fasilitator, pendukung, pelatih, bahkan model dalam pembentukan kreativitas anak. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah orang dewasa juga memiliki kesempatan untuk membatasi kreativitas anak karena kurangnya fantasi ataupun harapan mereka terhadap model anak yang diinginkan. Beberapa hal yang dapat menghambat dorongan kreativitas pada anak, antara lain: termasuk tekanan guru untuk fokus pada kemampuan calistung anak, kurangnya pelatihan di awal tahun praktek, dan ketegangan yang terjadi antara bagaimana memenuhi tuntutan kelas dengan mendorong minat individual anak.
Mitchell (2004) menggunakan metode MOST (material+objectives+spaces+time) dalam upaya mengembangkan kreativitas pada anak, termasuk pada anak berkebutuhan khusus (lampiran).
a.   Material, untuk merancang aktivitas kreatif, guru perlu mengetahui material yang akan digunakan dan memastikan bahwa material tersebut dapat mengakomodir kebutuhan siswa sehingga anak bersedia berpartisipasi dalam kegiatan. Merubah material atau menambahkan aitem special pada material mungkin akan membantu memenuhi kebutuhan individual anak. Material yang digunakan juga dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan motorik anak, misalnya memberikan kuas yang memiliki ukuran yang lebih besar pada area seni.
b.   Objectives, menanamkan tujuan dalam kegiatan kreatif dapat dicapai dengan memilih tujuan tertentu dari IEP (rencana pembelajaran individual) untuk masing-masing anak-anak selama kegiatan berlangsung. Misalnya, dalam skenario tentang Nathan bermain dengan tubful, alat peraga kantor medis, pelabelan objek bisa menjadi salah satu tujuan IEP nya. Menanamkan tujuan tertentu dalam kegiatan kreatif mendorong pengembangan keterampilan dalam konteks bermain.
c. Space (ruang) merupakan pertimbangan penting yang diperhatikan guru dalam merencanakan kegiatan-kegiatan kreatif. Untuk anak anak dengan kebutuhan untuk aktif secara fisik atau visual yang ikut ambil bagian, perubahan dalam lingkungan mungkin akan diperlukan. Sebagai contoh, perencanaan untuk peralatan adaptif tambahan, seperti kursi roda, dapat memastikan keterlibatan anak dalam kegiatan.
d.   Time (waktu), dimana anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus mungkin memerlukan tambahan waktu untuk secara aktif terlibat dalam kegiatan. Dengan pemikiran ini, guru harus membuat rencana fleksibel sehingga anak-anak memiliki waktu yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan kegiatan.




DAFTAR PUSTAKA:
Jamaris, Martini. 2010. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta: Yayasan Penamas Murni.
Munandar, Utami. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta:PT Rineka Cipta.
Piirto, Jane. 2004. Understanding Creativity. Scottsdale, USA: Great Potential Press, Inc.
Sharp, C. 2004. Developing your children’s creativity: what can we learn from research, (Online), (www.nfer.ac.uk/nfer/publications/55502/55502.pdf, diakses 26 Januari 2012).
Susanto, Ahmad. 2011. Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana.
Sujiono, Y.N. & Sujiono, B. 2010.  Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak. Jakarta: PT Indeks. 
Mitchell, L.C. 2004. Making the MOST  of Creativity in Activities for Young Children with Disabilities, (Online), (http://www.naeyc.org/files/tyc/file/MitchellVol2No2NEXT.pdf, diakses tanggal 26 Januari 2012).

0 comments:

Template by:

Free Blog Templates