Senin, 23 Januari 2012

KRIMINALITAS

(tulisan ini dikutip dari makalah kelompok problem sosial,tahun 2008)

Angka tindak kriminal di Indonesia semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Baik tindak kriminal pencurian, penipuan, perampokan, pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan, maupun tindak kriminal lainnya, menunjukkan peningkatan yang drastis. Modus pelaksanaan pun semakin beragam. Peningkatan tersebut pun menyebabkan kriminalitas dilirik oleh media massa untuk dikomersialisasikan.

Tempo Interaktif (2005) mengemukakan bahwa tingkat kriminalitas dari tahun ke tahun semakin meningkat. Misalnya saja kriminalitas pada tahun 2004 196.931 kasus meningkat pada tahun 2005 menjadi 209.673 kasus. Sedangkan persentasi penyelesaian kasus menurut kapolri masih sama karena berkisar pada 55 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berkisar 56 persen.
Kesulitan ekonomi seringkali dituding sebagai faktor pemicu terjadinya tindak kriminalitas. Kekacauan system perekonomian Negara semakin menggelembungkan Jumlah penduduk miskin di Indonesia yang sekarang telah lebih dari 36 juta penduduk (versi Bank Dunia). Melambungnya harga kebutuhan pokok dari hari ke hari dan tidak tersedianya lapangan kerja, semakin menjepit rakyat Indonesia. Sehingga, semakin banyak orang yang melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan mereka, termasuk melakukan tindak kriminal.
Peningkatan kriminalitas juga didukung oleh usaha penegakan hukum yang lemah. Undang-undang pidana yang lemah, aparat yang mudah disuap, dan hukuman yang tidak membuat jera, semakin menyuburkan kriminalitas. Penjara yang seharusnya membuat pelaku kriminalitas jera, justru menjadi tempat berlibur dan tempat ‘kuliah’ yang kondusif, dengan fasilitas hidup standar yang lengkap. Hal tersebut menyebabkan angka kriminalitas semakin tak terkendali.
Akan tetapi, banyak tindakan kriminal yang tidak hanya dilakukan atas desakan ekonomi. Banyak narapidana yang jera setelah dipenjara, tetapi tidak sedikit pula para residivis yang berkali-kali keluar-masuk penjara tanpa merasa bersalah. Banyak pula individu yang melakukan tindak criminal karena tekanan psikologis. Fenomena tersebut justru menunjukkan bahwa factor psikologis individu juga berpengaruh terhadap tindak kriminalitas tersebut.
Kondisi psikologis individu dan masyarakat memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan individu maupun masyarakat tersebut, termasuk keputusan individu untuk melakukan tindak criminal. Oleh karena itu, kajian mengenai kriminalitas dari perspektif psikologi menjadi suatu hal yang penting dan tidak bisa dipungkiri.

Apa pengertian kriminalitas?
Seorang kriminal adalah seseorang yang melakukan sesuatu yang melanggar hukum atau sebuah tindak kejahatan. Perbuatannya disebut kriminalitas atau tindak kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal adalah seorang maling atau pencuri, pembunuh, perampok dan juga teroris. Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh seorang hakim, maka orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab ini merupakan asas dasar sebuah negara hukum: seseorang tetap tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti (Wikipedia, 2008).
Kartono (2007) mengemukakan bahwa kejahatan atau kriminalitas merupakan tingkah laku yang melanggar hukum dan norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya. Moeliono (Kartono, 2007) juga mengemukakan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang ditunjang oleh berbagai ilmu, yang membahas kejahatan sebagai masalah manusia. Kartono (2007) juga mengemukakan bahwa kejahatan dapat didefinisikan sebagai betuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, sifatnya asosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana.


2.    Ilmu pengetahuan apa yang menunjang kriminologi?
Noach (Kartono, 2007) menjelaskan beberapa ilmu pengetahuan yang banyak menunjang kriminologi, antara lain:
a.    Statistik kriminal
Pengumpulan, perhitungan, pengukuran, dan penganalisisan angka-angka kejahatan.
b.    Poenologi
Ilmu pengetahuan mengenai timbul dan perkembangan hukuman, denda, dan pidana, beserta manfaat dan penggunaannya.
c.    Psikologi kriminal
Ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan penjahat yang dipandang dari ilmu jiwa yang membahasa tentang jiwa perorangan dan kelompok (jiwa tersangka, saksi, pembela, penuntut, hakim, dan lain-lain).
d.    Psikopatologi dan neuropatologi kriminal
Ilmu pengetahuan penjahat-penjahat dengan abnormalitas sakit jiwa dan terganggu syaraf-syaraf.
e.    Sosiologi kriminal
Ilmu pengetahuan mengenai kejahatan dipandang sebagai bagian dari gejala masyarakat. Mencari sebab kejahatan dengan menekan faktor masyarakat.
f.     Antropologi kriminal
Ilmu pengetahuan mengenai tipe-tipe dan kelompok-kelompok manusia yang jahat, dengan tanda-tanda jasmani yang khas serta mempelajari suku-suku bangsa dengan ciri khas kejahatannya masing-masing.


3.    Apakah penyebab tindak kriminalitas?
Kartono (2007) mengemukakan bahwa anak-anak yang delinquent/jahat itu lebih banyak terdapat dalam lingkungan keluarga yang mempunyai pola sosiopatik (sakit secara sosial), terutama sekali keluarga-keluarga pemabuk, peminum, dan keluarga kriminal. Anak-anak jadah (haram), anak-anak hasil peliharaan panti-panti asuhan, anak-anak pungut, yang semuanya kurang sekali mendapatkan cinta kasih dan tuntutan moril berkecenderungan besar untuk tumbuh menjadi individu-individu delinquent di kemudian hari. Mereka selalu didera oleh macam-macam konflik batin; atau mengalami kekalutan mental. Sebab mereka itu pada umumnya adalah "anak buangan" yang ditolak oleh orang tua, lingkungan dan masyarakat. Sehingga mereka mengembangkan respons sosial yang keliru dalam bentuk tingkah laku kriminal. Dalam keluarga-keluarga jahat, anak-anaknya mengoper pola-pola kriminal kemudian dicamkan dan dijadikan kebiasaan-kebiasaan. Pola kejahatan ini sukar sekali atau hampir-hampir tidak dapat diubah ke dalam pola lain. Mereka menjadi sangat jahat, naif, mudah percaya, dan hati nuraninya tidak berfungsi lagi. Pada akhirnya, mereka lalu memilih dan menetapkan satu peranan kriminal sebagai mekanisme untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kemudian, jadilah mereka itu penjahat-penjahat muda dengan deviasi/penyimpangan kriminal sekunder.
Soekanto (2002) mengemukakan bahwa kejahatan dapat terjadi karena disebabkan oleh kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Dari analisis tersebut dapat disimpulkan dua hal. Pertama terdapat hubungan antara variasi angka kejahatan dan variasi organisasi-organisasi sosial dimana kejahatan tersebut terjadi. Angka-angka kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dan proses-proses. Misalnya, gerak sosial, persaingan serta pertentangan kebudayaan, ideologi politik, agama, ekonomi, dan seterusnya. Kedua, proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Beberapa ahli menekankan pada beberapa bentuk proses, seperti imitasi, pelaksanaan peran sosial, asosiasi deferensial, kompensasi, identifikasi, konsep diri pribadi, dan kekecewaan yang agresif sebagai proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat.
Kartono (2007) juga menyebutkan bahwa faktor-faktor eksternal atau sosial yang menstimulasi munculnya banyak kejahatan antara lain sebagai berikut:
a)   Saat-saat penuh perubahan transformasi sosial dan ekonomi, yaitu: di waktu perang, masa inflasi, banyak pengangguran, saat malaise.
b)    Pemerintahan yang lemah dan korup: hukum tidak ditaati, tidak ada kontrol sosial, dan sanksi-sanksi yang tegas.
c)   Konflik-konflik kebudayaan: masa transisi dari kehidupan rural melompat pada pola urban dengan proses urbanisasi. Proses mekanisasi, motorisasi, dan industrialisasi tanpa diikuti persiapan mental sebelumnya. Kebudayaan ini banyak mengandung tekanan-tekanan, ketegangan-ketegangan, dan kontradiksi-kontradiksi, sehingga memberikan banyak peluang bagi berkembangnya kriminalitas.
d)  Mobilitas vertikal yang terhambat dan tidak termungkinkan penyaluran usaha untuk meningkatkan status sendiri. Misalnya, jika para lulusan sekolah banyak yang tidak mendapatkan kesempatan bekerja, jika para migran rural yang membanjir di kota-kota tidak bisa mendapatkan mata pencaharian yang pantas, dan jika bawahan tidak berkesempatan untuk menjadi pemimpin-pemimpin kecil, maka akan muncul banyak kriminalitas.
e)   Kebudayaan judi (gambling culture) yang serba kompleks, disebabkan oleh ketidakpercayaan rakyat kecil terhadap kebijaksanaan pemerintah. Sehingga orang lebih suka bersikap spekulatif, untung-untungan, melakukan banyak manipulasi, vivere periculosus atau hidup nyerempet-nyerempet bahaya dan mengembangkan pola kriminalitas, guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
f)   Pengembangan sikap-sikap mental yang keliru pada zaman modern sekarang ini. Misalnya: ambisi-sosial yang kelewat batas, aspirasi materiil yang tinggi, demam-uang, demam-status dengan hypermotif status sosial, pengejaran sukses materiil yang berlebih-lebihan, rivalitas atau persaingan yang tidak sehat, selera mahal pada kaum wanita, dan kompetisi-kompetisi hidup yang tidak sehat. Semua ini menstimulisasi pola-pola kriminal.
Kartono (2007) menyebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya kejahatan, diantaranya:
(a)  kejahatan yang bertubi-tubi itu memberikan efek yang mendemoralisir/merusak terhadap orde sosial;
(b) menimbulkan rasa tidak aman, kecemasan, ketakutan, dan kepanikan di tengah masyarakat;
(c) banyak materi dan energi terbuang dengan sia-sia oleh gangguan-gangguan kriminalitas;
(d) menambah beban ekonomis yang semakin besar kepada sebagian besar warga masyarakatnya.
Tingkah laku kriminal situasional itu sifatnya sering simptomatik. Yaitu, sejak kecil pelaku-pelaku kejahatan itu sudah bersifat memberontak kepada orang tua dan anggota keluarga lainnya. Lalu memberontak terhadap organisasi-organisasi sosial dan lembaga hukum. Mereka tampaknya memang ada bakat untuk menjadi kriminal.
Selanjutnya, tekanan-tekanan kriminal dan faktor-faktor buruk yang menjerumuskan individu pada kebiasaan kriminal itu lebih banyak terdapat di daerah-daerah perkotaan dan industri. Khususnya pengaruh-pengaruh yang mendemoralisasi anak-anak remaja dan adolesens.

4.    Apakah dampak tindak kriminalitas?


Kartono (2007) mengemukakan bahwa ada juga fungsi sosial dari kejahatan, yang memberikan beberapa efek positif, yaitu memperjelas tujuan-tujuan sosial yang bermanfaat, dan diungkapkan dalam bentuk aktivitas sebagai berikut:
1)   Menumbuhkan rasa solidaritas dalam kelompok-kelompok yang tengah diteror oleh penjahat.
2)  Muncullah kemudian tanda-tanda baru dengan norma-norma susila yang lebih baik, yang diharapkan mampu mengatur masyarakat dengan cara yang lebih baik di masa-masa mendatang.
3)    Orang berusaha memperbesar kekuatan hukum dan menambah kekuatan fisik lainnya untuk memberantas kejahatan.
Perbuatan-perbuatan jahat tersebut pada hakikatnya merupakan usaha untuk:
     (a)   Menemukan identitas diri,
     (b)   Menonjolkan harga diri,
     (c)   Menampilkan sifat-sifat kejantanan atau maskulinismenya,
    (d)   Mengembalikan harga diri, yang semula dirusak atau hancur berantakan oleh pengaruh lingkungan,
     (e)   Mendapatkan perhatian serta penghargaan, dan          
     (f)   Mencari status sosial.

5.    Apa saja jenis-jenis kriminalitas?


Kartono (2007) membagi kejahatan dalam beberapa jenis dan dari beberapa sudut pandang, yaitu:
a.    Kejahatan menurut kitab UU hukum pidana untuk Indonesia dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
·         Kejahatan melanggar keamanan negara, antara lain: makar, menghilangkan nyawa pimpinan negara, usaha meruntuhkan pemerintahan, memberikan rahasia-rahasia negara kepada agen asing, dll (KUHP 104-129)
·         Kejahatan melanggar martabat raja dan martabat gubernur jendral antara lain : penghilangan nyawa atau kemerdekaan pejabat tersebut diatas dan penghinaan dengan sengaja dan lain-lain (KUHP 130 -139)
·         Kejahatan melawan negara yang bersahabat dan melanggar kepala dan wakil negara yang bersahabat, dll (KUHP 139-145)
·         Kejahatan tentang melakukan kewajiban kenegaraan dan hak kenegaraan antara lain berupa ancaman dan kekerasan menceraiberaikan persidangan Dewan Perwakilan Rakyat, mengacu, dan merintangi pelaksanaan pemilihan umum, dll (KUHP 146-153)
·         Kejahatan melanggar ketertiban umum, antara lain: secara terbuka dan di muka umum menghasut serta menyatakan rasa permusuhan, kebencian, dan hinaan kepada pemerintahan, dengan kekerasam mengancam dan berusaha merobohkan serta melanggar poemerintahan yang sah, tidak melakukan tugas kewajiban jabatannya, menjadi anggota oragnisasi terlarang menurut hukum, melakukan keonaran, huru hara dan mengganggu ketenaran umum, dll (KUHP 153-181)
·         Kejahatan perang tanding (KUHP 182-186)
·         Kejahatan yang membahayakan keamanan umum orang dan barang (KUHP 187-206)
·         Kejahatan melanggar kekuasaan umum (KUHP 207-241)
·         Kejahatn sumpah palsu dan keterangan palsu (KUHP 242-243)
·         Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas negeri serta uang kertas bank (KUHP 244-252)
·         Kejahatan pemalsuan meterai dan cap (KUHP 253-262)
·         Kejahatan pemalsuan dalam surat (KUHP 263-276)
·         Kejahatan melanggar duduk-perdata (KUHP 277-280)
·         Kejahatan melanggar kesusilaan (KUHP 281-303)
·         Kejahatan meninggalkan orang yang perlu ditolong (KUHP 304-309)
·         Kejahatan penghinaan (KUHP 310-321)
·         Kejahatan membuka rahasia (KUHP 322-323)
·         Kejahatan melanggar kemerdekaan orang (KUHP 324-337)
·         Kejahatan terhadap nyawa orang (KUHP 338-350)
·         Kejahatan penganiayaan (KUHP 351-358)
·         Kejahatan menyebabkan matinya atau lukanya orang karena kesalahan yang tidak disengaja (KUHP 362-367)
·         Kejahatan pencurian (KUHP 362-367)
·         Kejahatan pemerasan dan pengancaman (KUHP 368-371)
·         Kejahatan penggelapan (KUHP 372-377)
·         Kejahatan penipuan (KUHP 378-395)
·         Kejahatan merugikan orang yang berpiutang atau yang berhak (KUHP 396-405)
·         Kejahatan penghancuran atau pengrusakan barang (KUHP 406-412)
·         Kejahatan-kejahatan bagi pegawai negeri (KUHP 413-437)
·         Kejahatan pelayaran (KUHP 438-479)
·         Kejahatan p[emudahan, antara lain menadahkan barang-barang curian, menerbitkan serta mengedarkan tulisan-tulisan yang melanggar hukum (KUHP 480-485)
b.    Penjelmaan atau bentuk dan jenis kejahatan dapat dibagi dalam beberapa kelompok.
c.    Menurut cara kejahatan dilakukan dapat dibagi dalam beberapa kelompok.
d.    Menurut objek hukum yang diserangnya dapat dibagi dalam beberapa kelompok.
e.    Kejahatan menurut tipe penjahat

6.    Apakah solusi untuk mengatasi kriminalitas?


Menurut Cressey (Soekanto, 2002) bahwa untuk mengatasi masalah-masalah kejahatan yang terjadi, ada dua konsepsi mengenai teknik rehabilitasi. Pertama, menciptakan sistem dan program-program yang bertujuan untuk menghukum orang-orang jahat tersebut. Sistem tersebut dapat bersifat reformatif, misalnya hukum bersyarat, hukum kurungan, serta hukum penjara. Gejala lain yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu white-collar crime. Banyak ahli yang beranggapan, bahwa tipe kejahatan ini merupakan ekses dari proses perkembangan ekonomi yang terlalu cepat, dan yang menekankan pada aspek material finansial belaka.
Kartono (2007) menyebutkan bahwa pemenjaraan selama jangka waktu yang pendek yang merupakan solusi dalam mengatasi kejahatan, pada umumnya mengakibatkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut.
1)  Dari penjahat kecil-kecilan, mereka bisa menjadi penjahat yang lebih lihai dengan keterampilan tinggi dan perilaku yang lebih kejam. Mereka menjadi lebih licin dan lebih matang karena mendapatkan pelajaran tambahan dari sesama kawan narapidana.
2)   Sering timbul konflik-konflik batin yang serius, terutama sekali pada para narapidana yang baru pertama kali masuk penjara. Terjadi semacam trauma/luka psikis atau berlangsung kejutan jiwani, sehingga mengakibatkan disintegrasi kepribadian. Ada juga yang seperti menjadi gila.
3)  Penjahat-penjahat individual dan penjahat situasional banyak sekali yang mengalami patah mental, disebabkan oleh isolasi sosial dalam penjara. Mereka merasa dikucilkan dan dikutuk oleh masyarakat penjara dan masyarakat luar pada umumnya. Mereka itu pada umumnya secara mental tidak siap mengha-dapi realitas yang bengis di dalam penjara, yang dilakukan oleh sesama narapidana. Dalam batinnya, mereka sangat menyesali perbuatan dosa dan kesalahannya dan berulang kali menolak serta membenci "Aku yang terpenjara" ini.
Kartono (2007) juga mengungkapkan bahwa isolasi yang lama karena disekap dalam penjara meng­akibatkan efek-efek sebagai berikut:
1) Tidak ada partisipasi sosial. Masyarakat narapidana dianggap sebagai masyarakat yang terkucilkan, masyarakat asing penuh stigma-stigma atau noda-noda sosial, yang wajib disingkiri.
2)  Para narapidana didera oleh tekanan-tekanan batin yang semakin memberat dengan bertambahnya waktu pemenja­raan. Kemudian muncul kecenderungan-kecenderungan autistik (menutup diri secara total) dan usaha melarikan diri dari realitas yang traumatik sifatnya, terutama sekali peristiwa ini banyak terdapat pada penghuni-penghuni baru.
3)   Praktik-praktik homoseksual berkembang. Khususnya narapidana-narapidana pria yang ayu dan lemah, menjadi korban yang mengenaskan, diperkosa oleh mereka yang kuat dan ganas.
4)  Para narapidana mengembangkan reaksi-reaksi yang stereotypes, yaitu: cepat curiga, lekas marah, cepat membenci, dan mendendam.
5)   Mendapat stempel tidak bisa dipercaya dan tidak bisa diberi tanggung jawab. Sehingga apabila mereka itu telah ke luar dari penjara, maka sulit sekali bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu, mereka lebih suka terus-menetap dalam penjara. Mereka dianggap sebagai warga masyarakat yang tuna susila, dan kurang mampu memberikan partisipasi sosial.



7.    Apa saja bentuk partisipasi penjahat?


Kartono (2007) menyebutkan beberapa partisipasi penjahat ke dalam beberapa jenis, diantaranya:
1)  Partisipasi sosial: kurang sekali, sebabnya ialah: mereka harus selalu bekerja secara sembunyi-sembunyi, sifatnya siluman, senantiasa ada di belakang dan tidak ketahuan oleh umum. Karena itu, biasanya mereka beroperasi pada malam hari. Mereka itu sangat mobil, selalu berpindah-pindah tempat atau berganti alamat. Ada kecenderungan pada mereka untuk selalu menempel pada kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat. Sehubungan dengan ini, mereka bisa dijadikan sumber inkonvensional dan bisa menguntungkan banyak pihak, antara lain ialah:
-       organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga legal/formal yang bergiat dalam usaha-usaha sosial;
-  jawatan-jawatan pemerintah tertentu: kehakiman, kepolisi-an, ketentuan, dan kementerian;
-          pejabat-pejabat dan oknum-oknum tertentu (hakim, jaksa, pengacara, kepala daerah, dokter, pemilik apotik, dan lain-lain).
2)  Partisipasi ekonomis: banyak dan positif. Mereka bisa menyimpan dan menanam uang-uang panas pada bank-bank, perusahaan-perusahaan asuransi, firma-firma, usaha-usaha dagang, perseroan-perseroan pemborongan, dan lain-lain, sungguhpun semua itu harus dijalankan secara gelap-gelapan atau bersifat rahasia.
3)   Partisipasi politik cukup besar. Gang-gang kriminal yang mempunyai organisasi teratur rapi, mempunyai minat besar sekali kepada politik lokal dan politik nasional. Maka kerja sama yang baik dengan para politisi bisa memberikan keuntungan yang timbal-balik. Tidak ada sedikit penjahat diperalat untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum untuk mengintimidasi lawan dan melikuidasi/ membasmi partner bermain yang sudah tidak disukai lagi. Juga dijadikan agen-agen pembuat kerusuhan dan huru-hara, menjadi radikalis-radikalis untuk merusak membakari bangunan-bangunan dan pasar-pasar.
4)   Partisipasi marital dan partisipasi scks\ hampir-hampir tidak ada. Sedikit sekali dari kaum penjahat itu yang menjalin perkawinan resmi atau yang membangun rumah tangga. Sebabnya ialah:
      a)  mereka bersifat mobil sekali, selalu berpindah-pindah;
   b) harus bekerja secara siluman, tidak kelihatan, khususnya beroperasi di waktu malam hari;
      c) hidupnya selalu dikejar-kejar oleh agen-agen rahasia dan polisi.

8.    Sejauh mana tingkat kriminalitas di Indonesia?


Tempo Interaktif (2005) mengemukakan bahwa tingkat kriminalitas dari tahun ke tahun semakin meningkat. Misalnya saja kriminalitas pada tahun 2004 196.931 kasus meningkat pada tahun 2005 menjadi 209.673 kasus. Sedangkan persentasi penyelesaian kasus menurut kapolri masih sama karena berkisar pada 55 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berkisar 56 persen.
Kartono (2007) menyebutkan bahwa data statistik di banyak negara, termasuk pula di Indonesia menunjukkan, bahwa kejahatan itu paling banyak dilakukan oleh orang-orang muda pada usia adolesensi dan remaja, yaitu 18-24 tahun, khususnya kejahatan yang menggunakan kekerasan. Di Jepang, paling banyak terdapat penjahat-penjahat berusia 30-40 tahun. Puncak dari jumlah kejahatan itu berusia 19-24 tahun. Jangka waktu melakukan kejahatan pada umumnya ialah 10-15 tahun. Semakin tua usia manusia, semakin menurunlah kejahatan itu. Namun jumlah kejahatan ekonomi, fraude/penggelapan, dan penipuan pada umumnya lebih banyak berlangsung pada umur agak tua, dimana keterampilan teknis lebih banyak diperlukan.
Yang lebih dominan dalam dunia kejahatan itu adalah kaum laki-laki. Perbandingan jumlah penjahat-penjahat pria dan penjahat  perempuan ialah 10 : 1 atau 20 : 1. Sebaliknya, kaum wanita lebih banyak melakukan pelanggaran seks atau pelanggaran susila. Pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh warga negara keturunan asing di Indonesia ini, terutama orang-orang Cina, pada umumnya berlangsung secara "siluman", tidak kelihatan; dan kebanyakan tidak ditindak, karena jenis kejahatan itu ditutup dengan uang dan suapan. Sedangkan secara geografis, jumlah kejahatan itu lebih banyak terdapat di daerah-daerah pantai, khususnya di kalangan suku-suku bangsa pemakan daging. Dan jumlah kejahatan jauh lebih sedikit jika dibanding dengan jumlah kriminalitas di daerah-daerah perkotaan dan ibu kota (Kartono, 2007).
Kartono (2007) menyebutkan ada tiga faktor penting yang memainkan peranan besar dalam membentuk pola kriminal, sebagai berikut.
1. Jenis makanan memberikan efek dietetis, yang memberikan pengaruh terhadap agresivitas manusia. Individu-individu dan kelompok suku bangsa pemakan-daging yang intensif, pada umumnya lebih agresif dan lebih ganas daripada mereka pemakan bahan tumbuh-tumbuhan. Maka, kecenderungan berbuat kriminal itu lebih banyak terdapat pada kelompok-kelompok pemakan daging.
2.  Lingkungan alam yang teduh damai di daerah-daerah pedesaan dan pegunungan yang subur memberikan pengaruh yang menenangkan. Sedang daerah-daerah kota dan industri yang penuh padat dan bising penuh hiruk-pikuk yang memekakkan, memberikan pengaruh membingungkan, mengacau menekan/ mencekam dan menstimulasi penduduknya menjadi kanibal-kanibal (kejam, bengis, mendekati kebiadaban), dan jahat.
3)   Masyarakat primitif dan masyarakat desa dengan kelompok-kelompok "face to face" yang masih intim memberikan kontrol sosial dan sanksi-sanksi sosial lebih ketat kepada segenap warga masyarakatnya. Sedang masyarakat urban yang kompleks, sangat heterogin dan atomistik itu membuat norma-norma sosial dan sanksi-sanksi sosial menjadi sangat longgar, sehingga orang cendenmg bertingkah laku semau sendiri yang menjurus kepada pola-pola yang kriminal.
            Kartono (2007) menjelaskan bahwa pengejaran terhadap kriminalitas itu sukar sekali karena disebabkan oleh beberapa kejadian, yaitu:
(1) Kaum penjahat itu mempunyai organisasi yang sangat teratur, dengan teknik dan strategis yang rapi;
(2) Pada umumnya organisasi-organisasi kejahatan itu melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga resmi dan pejabat-pejabat tertentu. Misalnya dengan: perusahaan asuransi, bank-bank, departemen-departemen, lembaga-lembaga, dan pejabat-pejabat formal;
(3) Banyak yang membuka organisasi-depan (front-organization) dalam bentuk usaha bisnis yang legal, sehingga menyulitkan pengejarannya;
(4) Penjahat-penjahat "teri" yang tidak kuasa membayar dihukum berat. Sedang penjahat-penjahat "kakap" yang mampu membeli dan membayar, bisa lolos dari tuntutan.

KASUS
Kisah Geng Motor Bandung
Toetoet (2007) mengemukakan bahwa budaya kekerasan yang dianut geng sepeda motor Brigez di Kota Bandung, Jawa Barat, terungkap melalui rekaman video yang dirilis Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung, Rabu, 7 November 2007 siang. Rekaman itu mempertontonkan ritual penerimaan anggota baru geng sepeda motor Brigez di sebuah hutan di Gunung Puntang, Bandung. Prosesi itu penuh dengan cara-cara kekerasan, seperti pemukulan dan tendangan. Dalam penerimaan anggota baru, Brigez menggunakan cara-cara kekerasan. Seperti pemukulan, tendangan, dan direndam di sungai. Bahkan, sesama calon anggota diharuskan berkelahi. Rekaman kamera pemantau (CCTV) di salah satu toko swalayan di Cihampelas, Bandung, menunjukkan kebrutalan anggota Brigez. Tanpa sebab apa pun, mereka tidak segan-segan merusak sepeda motor yang diparkir di depan toko. Tidak itu saja, mereka juga menyerbu masuk ke dalam toko dan penjarahan. Ritual yang menonjolkan adegan kekerasan tak hanya terjadi saat penerimaan anggota baru. Karena polisi juga mempertontonkan rekaman kejadian saat anggota geng motor mengganggu sebuah toko swalayan yang buka 24 jam di Jalan Cihampelas, Bandung. Dari rekaman kamera pengintai (close circuit television/CCTV) di sebuah toko swalayan yang terjadi tahun lalu, terlihat kebrutalan anggota geng sepeda motor. Tanpa sebab apa pun, mereka tidak segan-segan merusak sebuah sepeda motor yang berada di depan toko swalayan. Sebagian isi toko swalayan turut hancur dilempari dengan batu. Terkait kebrutalan kelompok geng sepeda motor, sejumlah warga Kota Bandung mengaku resah. Sejak beberapa tahun terakhir geng motor memang telah menebar ketakutan di Kota Bandung maupun kota-kota lainnya di Jabar. Mereka tidak hanya sekadar berkonvoi di malam hari. Jika bertemu orang lain di jalan, ada saja aksi yang mereka lakukan, sehingga warga menjadi cemas. Seorang korban mengungkapkan, begitu bertemu anggota geng sepeda motor di jalan raya saat pulang kerja dini hari, tangannya tiba-tiba ditebas dan motornya dirampas. Karyawan sebuah hotel ini hanya bisa berteriak minta tolong. Namun, pelaku langsung melarikan diri. Korban sendiri menolak namanya disebutkan karena khawatir akan aski balas dendam. Menyikapi ulah para anggota geng sepeda motor yang sudah meresahkan masyarakat, pihak kepolisian berjanji akan segera menindak tanpa toleransi. Polisi menyatakan siap mendapat protes dari berbagai pihak karena pelaku umumnya masih di bawah umur.



DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, S. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Toetoet. 2007. Kriminalitas Geng Motor Brigez Meresahkan Warga Bandung, (Online), (http://toetoet.wordpress.com/2007/11/13/kriminalitas-geng-motor-brigez-meresahkan-warga-bandung/, diakses 17 Maret 2008).
Wikipedia. 2008. Kriminal (Online), (lhttp://id.wikipedia.org/wiki/Kriminal, diakses 17 Maret 2008).
Yophiandi. 2005. Tingkat Kriminalitas Indonesia Meningkat (Online), (http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/01/01/brk,20050101-01,id.html, diakses 17 Maret 2008).

0 comments:

Template by:

Free Blog Templates