Rabu, 02 November 2011

PELANGGARAN ETIKA PENELITIAN


KASUS PELANGGARAN ETIKA DITINJAU DARI KODE ETIK PSIKOLOGI

Kasus I
Kasus pertama ini mengutip artikel yang diposting oleh Tirta Susilo dan Arya Gaduh dengan judul "Plagiarisme atas buku 'How We Decide” pada halaman web: (http://nalarekonomi.blogspot.com/2011/09/plagiarisme-buku-how-we-decide.html)
Belum lama ini Tirta Susilo mengunduh makalah  yang berjudul Bagaimana Otak Melahirkan Altruisme yang ditulis Ryu Hasan sebagai bahan diskusi klub sains Freedom Institute pada 19 Agustus 2011. Keseluruhan makalah tersebut ternyata berisi terjemahan buku How We Decide karangan Jonah Lehrer, Bab 6 halaman 171-189. Karena tidak ada satupun rujukan maupun atribusi ke Jonah Lehrer, Tirta Susilo dan beberapa rekan lain mengambil kesimpulan bahwa makalah ini plagiat. 


Sebagai contoh, berikut paragraf pembuka Bagaimana Otak Melahirkan Altruisme: 
Kalau dibicarakan secara sepintas, mungkin banyak yang tidak percaya bahwa terdapat hubungan antara moralitas dan emosi. Keyakinan umum selama ini adalah bahwa keputusan-keputusan moral muncul dari proses yang sangat logis dan legal. Anggapan umum bahwa berbuat baik berarti menimbang secara teliti argumen-argumen yang saling bertentangan, bagaikan seorang hakim yang netral dan tidak berat sebelah. Penjelasan tersebut mempunyai sejarah yang panjang. Tokoh-tokoh Abad Pencerahan, semisal Leibniz dan Descartes, berusaha menyusun suatu sistem moral yang sepenuhnya terbebas dari perasaan. Immanuel Kant berpendapat bahwa berbuat baik hanyalah konsekuensi dari bertindak rasional. Imoralitas, tulisnya, adalah hasil dari ilogika (illogic). Kata Kant lagi, "Makin sering kita merenungkan" keputusan-keputusan kita makin bermorallah keputusan-keputusan kita. Hingga sejauh ini sistem hukum modern masih berpijak pada asumsi-asumsi kuno tersebut dan membebaskan siapapun yang "rasionalitasnya cacat" —orang-orang ini secara hukum dinyatakan gila— sebab otak rasional dianggap sebagai pembeda antara benar dan salah. Doktrinnya adalah "apabila Anda tak dapat menalar, berarti Anda tak boleh dihukum". 
Dari halaman 171-172 How We Decide: 
At first glance, the connections between morality and the emotions might be a little unnerving. Moral decisions are supposed to rest on a firm logical and legal foundation. Doing the right thing means carefully weighing the competing claims, like adispassionate judge. These aspirations have a long history. The luminaries of the Enlightenment, such as Leibniz and Descartes, tried to construct a moral system entirely free of feelings. Immanuel Kant argued that doing the right thing was merely a consequence of acting rationally. Immorality, he said, was a result of illogic. "The oftener and more steadily we reflect" on our moral decisions, Kant wrote, the more moral those decisions become. The modern legal system still subscribes to this antiquated set of assumptions and pardons anybody who demonstrates a "defect in rationality" —these people are declared legally insane— since the rational brain is supposedly responsible for distinguishing between right and wrong. If you can't reason, then you shouldn't be punished.
Demikian seterusnya sampai paragraf terakhir. 

Kasus plagiat di atas, hanyalah satu dari banyaknya kasus yang saat ini banyak termuat di media. Kasus plagiat dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Banyaknya kasus yang terekspos tidak lain karena makin mudahnya informasi di akses lewat media berbasis teknologi. Bukan hanya doker, bahkan beberapa nama professor juga sempat tercatat sebagai pelaku plagiat dalam beberapa artikel lainnya.

DEFINISI PLAGIARISME
Plagiarisme dalam kamus besar bahasa Indonesia (Depdiknas, 2001) didefinisikan sebagai kegiatan menjiplak yang melanggar hak cipta, mengambil karangan atau pendapat, atau hal-hal lain milik orang lain dan menjadikan seolah-olah karangan (pendapat) sendiri. Contoh yang nyata adalah dengan menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri.
Plagiarisme atau plagiat merupakan istilah yang diambil dari bahasa Inggris yang berasal dari bahasa latin plagiarus yang berarti penculik. Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan penipuan yang dilakukan dengan cara mengambil penelitian orang lain dan menyajikannya sebagai pemikiran sendiri (Jurusan Psikologi UNM, 2004). Plagiarisme merupakan pelanggaran berat dan sangat memalukan. Plagiarisme dapat dihindari dengan selalu mencantumkan nama penulis dan tahun penulisan kata-kata, pendapat, ataupun hasil pekerjaan orang lain yang dikutip dalam karangan diri, baik menggunakan kutipan langsung maupun dalam bentuk parafrase (Jurusan Psikologi UNM, 2004).
Plagiarisme adalah penyajian bagian atau elemen substansial dari pekerjaan atau data orang lain (HIMPSI, 2005). Peraturan mengenai plagiarism, khususnya, tercantum pada pasal 55 Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI, 2011) mengenai penghargaan dan pemanfaatan karya cipta pihak lain ayat  1 dan 2 yang menyebutkan bahwa:   
(1)   Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai karya cipta pihak lain sesuai dengan undang-undang, peraturan dan kaidah ilmiah yang berlaku umum. Karya cipta yang dimaksud dapat berbentuk penelitian, buku teks, alat tes atau bentuk lainnya harus dihargai dan dalam pemanfaatannya memperhatikan ketentuan perundangan mengenai hak cipta atau hak intelektual yang berlaku.
(2)   Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak dibenarkan melakukan plagiarisme dalam berbagai bentuknya, seperti mengutip, menyadur, atau menggunakan hasil karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya secara jelas dan lengkap. Penyajian sebagian atau keseluruhan elemen substansial dari pekerjaan orang lain tidak dapat diklaim sebagai miliknya, termasuk bila pekerjaan atau sumber data lain itu sesekali disebutkan sebagai sumber.

Felicia Utorodewo (2007) menggolongkan hal-hal berikut sebagai tindakan plagiarisme, antara lain: Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri, mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri, mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri, mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri, menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya, meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya, meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.

PEMBAHASAN KASUS I
Jika makalah Bagaimana Otak Melahirkan Altruisme?” yang ditulis oleh Ryu Hasan memang tidak mencantumkan pustaka yang dikaji dalam membuat makalah tersebut, berarti memang Ryu Hasan melakukan tindakan plagiarism, sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai referensi di atas bahwa tindakan plagiarisme dikatakan terjadi apabila penyaji mengambil/mengutip karya orang lain dan menyajikannya sebagai karyanya sendiri dengan tidak mencantumkan pemilik karya yang sebenarnya, sekurang-kurangnya dalam catatan kaki.
Ditinjau dari etika penelitian disebutkan dalam referensi di atas bahwa tindakan plagiarisme merupakan tindakan yang tidak terpuji. Jika peneliti memang mengutip ataupun menggunakan ide milik orang lain, paling tepat jika sang penulis mencantumkan nama dan tahun penulisan pustaka yang dikutipnya. Tidaklah mengherankan jika terbukti melakukan plagiarisme, para plagiator dikenakan hukuman yang cukup fatal, mulai dari terkena sanksi sosial hingga pencabutan jabatan di instansi tempat plagiator tersebut bernaung.
Ditinjau dari Kode Etik Psikologi Indonesia tahun 2011, penulis telah melanggar pasal 55 Kode Etik Psikologi Indonesia (2011) mengenai penghargaan dan pemanfaatan karya cipta pihak lain ayat  1 dan 2. Ayat 1 pasal 55 KEPI menyebutkan bahwa psikolog/ ilmuwan psikologi wajib menghargai karya cipta pihak lain, baik yang berbentuk penelitian, buku teks, alat tes atau bentuk lainnya sesuai dengan undang-undang, peraturan dan kaidah ilmiah yang berlaku umum. Karya cipta orang lain harus dihargai dan dalam pemanfaatannya memperhatikan ketentuan perundangan mengenai hak cipta atau hak intelektual yang berlaku. Ayat 2 pasal 55 KEPI 2011 menyatakan bahwa Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak dibenarkan melakukan plagiarisme dalam berbagai bentuknya, seperti mengutip, menyadur, atau menggunakan hasil karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya secara jelas dan lengkap. Bahkan dengan tegas dikatakan bahwa Penyajian sebagian atau keseluruhan elemen substansial dari pekerjaan orang lain tidak dapat diklaim sebagai miliknya, termasuk bila pekerjaan atau sumber data lain itu sesekali disebutkan sebagai sumber.
Kasus di atas memang bukan dilakukan oleh psikolog atau ilmuwan psikologi, tetapi tidak menutup kemungkinan akan menimpa peneliti psikologi, sehingga memang setiap peneliti dituntut untuk lebih teliti dalam mengutip ataupun mengambil karya orang lain. Jika peneliti benar-benar mengutip karya orang lain, jangan lupa untuk selalu menuliskan nama dan tahun penulisan karya yang dikutip.



REFERENSI:
Depdiknas. 2001.  Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Felicia, dkk. 2007. Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.
HIMPSI. 2005. Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Himpunan Mahasiswa Psikologi.
HIMPSI. 2010. Kode Etik Psikologi Indonesia. Temu Ilmiah nasional dan Kongres XI.
Jurusan Psikologi Universitas Negeri Makassar. 2004. Panduan Penulisan Skripsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar.
Susilo, T dan Gaduh, A. 2011. Plagiarisme Buku How We Decide, (Online),(http://nalarekonomi.blogspot.com/2011/09/plagiarisme-buku-how-we-decide.html, diakses, 30 Oktober 2011)

0 comments:

Template by:

Free Blog Templates