Terlalu lama tidak nge-post, kali
ini saya mencoba menyajikan salah satu makalah yang saya buat pada tugas
psikologi belajar yang dibimbing Bu Tia yang cantik...hehehe. Tema merokok yang
saya angkat dalam tugas kali ini. Mohon maaf bila analisis yang saya lakukan
masih sangat sederhana dan mungkin bagi sebagian orang tidak bagus. Lebih
jelasnya, silahkan dilihat...^_^
PENDAHULUAN
Perilaku
merokok pada masa sekarang tampaknya telah menjadi hal yang biasa. Hal tersebut
terlihat dari peningkatan jumlah perokok yang makin tahun makin bertambah.
Pendapat tersebut didukung dengan pernyataan dari Abdillah (dalam Istman, 2012)
yang menyatakan bahwa dibandingkan tahun 1995 yang memiliki jumlah perokok di
Indonesia 34,7 juta jiwa, tahun 2007, jumlah perokok telah melonjak nyaris dua
kali lipat, 65,2 juta perokok.
Peningkatan
jumlah perokok tersebut tidak hanya disebabkan oleh peningkatan jumlah perokok
laki-laki, melainkan juga peningkatan jumlah perokok perempuan. Abdilah (dalam
Istman, 2012) menyatakan bahwa jika dilihat dati jumlah perokok pria, ditemukan
peningkatan jumlah perokok nyaris dua kali lipat dari rentang waktu 1995-2007.
Pada tahun 2007, jumlah perokok pria mencapai angka 60,4 juta perokok dari
sebelumnya 33,8 juta pada tahun 1995. Jumlah perokok wanita juga mengalami
peningkatan sebanyak empat kali lipat pada rentang waktu 1995-2007. Tahun 2007,
terdapat 4,8 juta perempuan perokok dari yang sebelumnya hanya 1,1 juta perokok
pada tahun 1995.
Perilaku
merokok diakui oleh beberapa orang berawal dari keinginan untuk mencoba yang
berlanjut menjadi kebiasaan. Salah satunya adalah A (23 Tahun). A merupakan
seorang pemuda yang saat ini sedang menjalani perkuliahan sebagai mahasiswa
program pasca sarjana salah satu universitas di Jakarta. Perilaku merokok
mulai dilakukan oleh A pada sekitar tahun 1999/2000 ketika A masih
duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. Awalnya A hanya mencoba-coba saja
sehingga pada saat itu, A hanya melakukan perilaku merokok sekitar sekali
seminggu.
Seiring
dengan berjalannya waktu, perilaku merokok A yang telah naik ke kelas 6 Sekolah
Dasar meningkat. A mampu menghabiskan setengah bungkus rokok seminggu bahkan
kurang dari seminggu, sehari A mampu menghabiskan 2 batang rokok. Perilaku A
makin hari makin bertambah bahkan ketika akhirnya A masuk pesantren semasa SMP,
perilaku merokok A makin bertambah parah. Pada masa itu, A yang telah duduk di
bangku SMP telah mampu menghabiskan sebungkus rokok dalam setengah hari saja
dan makin bertambah menjadi 2 bungkus sehari ketika duduk di bangku SMA.
Perilaku merokok A ketika kuliah juga menjadi makin parah. Selama kuliah, A
mampu menghabiskan 3 sampai 4 bungkus rokok sehari. Perilaku merokok paling
sering dilakukan A saat sedang melakukan kegiatan seperti bermain game,
menyetir mobil untuk perjalanan jauh, dan mengerjakan tugas kuliah. Perilaku
merokok A yang awalnya dirasakan biasa saja berubah menjadi suatu kebutuhan.
Pada saat A tidak melakukan kegiatan merokok, A akan merasa ada yang kurang,
tidak tenang dan pusing. Hal tersebut membuat A yang pada saat itu mengerjakan
skripsinya dapat menghabiskan 1 karton kecil rokok (isi 100bungkus) kurang dari
sebulan.
A
mengakui ayahnya sewaktu masih hidup memiliki kebiasaan merokok, meski
demikian, ayahnya justru tidak membolehkan A untuk melakukan perilaku merokok.
Ibu A berprofesi sebagai pengajar yang peduli akan kesehatan seringkali
menasihati A untuk berhenti merokok, tetapi perkataan ibunya sering kali
diabaikan oleh A. Di lingkungan keluarga A bisa dilihat bahwa ayah A melakukan
perilaku merokok. Di lingkungan teman sebaya, A mengakui semua teman-temannya
merokok.
KAJIAN
PUSTAKA
1. Observational
Learning
Santrock
(2011) menyatakan observational learning
sebagai belajar yang melibatkan pemerolehan kemampuan, strategi, dan
kepercayaan/keyakinan dengan mengobservasi orang lain. Observational learning tidak terbatas hanya pada proses imitasi,
tetapi lebih pada bentuk atau strategi umum yang sering diaplikasikan dalam
cara-cara yang kreatif. Bandura (dalam Crain, 2011) menyatakan bahwa dalam
situasi sosial, Individu dengan mudah dapat belajar secara lebih baik dengan
mengobservasi perilaku orang lain.
Bandura
(dalam Santrock, 2011) mendeskripsikan empat kunci penting yang terdapat dalam
proses observational learning, yaitu:
(a) atensi yang terjadi pada saat Individu memperhatikan apa yang dilakukan
atau dikatakan oleh model yang memiliki
karakteristik tertentu (b) retensi yang dapat terjadi jika Individu
dapat mengkodekan informasi dan menyimpannya di memori sehingga informasi
tersebut dapat dipanggil kembali. Retensi dapat ditingkatkan dengan adanya
demonstrasi yang logis, jelas, dan bersemangat, (c) produksi, kemampuan
mereproduksi perilaku model pada anak dipengaruhi oleh kemampuan motorik anak,
dan (d) motivasi, pemberian motivasi dalam bentuk reinforcement atau insentif dapat membuat anak mengimitasi perilaku
model.
Crain
(2011) menyatakan bahwa model pembelajaran Bandura memiliki peranan penting
dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Kebanyakan orang tua telah menyadari
bahwa mereka mengajar dengan contoh, orang tua mungkin juga melupakan bagaimana
pengaruh model dalam belajar. Bandura (dalam Ross, 2007) memberikan hipotesis
bahwa social learning dapat terjadi
selama pembelajar mengobservasi orang secara nyata, mengobservasi lingkungan
atau mengobservasi televisi maupun media lainnya. Secara umum, anak-anak lebih
cenderung dapat mengaitkan observational
learning dibandingkan orang dewasa, dan orang yang tidak memiliki
pengalaman akan lebih banyak melakukan perilaku tertentu dibandingkan dengan
orang yang telah berpengalaman. Bandura menganggap Individu menggunakan bahasa
dan simbol untuk mengartikan pengamatan perilaku model secara sosial menjadi
panduan untuk perilaku mendatang. Motivasi manusia dan self management memengaruhi muncul atau tidaknya perilaku model
yang telah diobservasi oleh Individu sebelumnya. Motivasi manusia dan self management tersebut dihasilkan dari
struktur internal yang disebut self-system.
Bandura
(dalam Ross, 2007) mendefinisikan self
system sebagai satu set struktur kognitif yang memengaruhi persepsi,
evaluasi dan behavior regulation. Bandura yakin bahwa Individu
secara sadar mengaitkan self system
untuk mengevaluasi perilaku yang berhubungan dengan pengalaman sebelumnya dan
konsekuensi yang diperoleh di masa mendatang. Menurut Bandura, anak-anak
cenderung mengadopsi standar evaluasi diri dari teman sebaya dibandingkan
dengan standar evaluasi diri orang dewasa. Hal tersebut disebabkan anak-anak
lebih mudah mencapai standar yang dimiliki oleh teman sebaya.beberapa orang
menetapkan standar evaluasi diri yang tinggi dan kemudian merasa kecewa serta
depresi ketika standar tersebut sulit dicapai. Bandura menyatakan bahwa
beberapa orang dapat menghindari depresi dengan tetap berfokus pada tujuannya
(Crain, 2011).
2.
Merokok
Amstrong
(dalam Aryanti, 2011) mendefinisikan merokok sebagai menghisap tembakau yang
terbakar ke dalam tubuh dan menghembuskannya lagi ke luar. Beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya perilaku merokok, antara lain: mengikuti teman, merasa
telah dewasa, merasa menyenangkan, mengikuti orang tua, untuk rileks di waktu
senggang, dan perilaku yang wajar sebagai seorang laki-laki (Naing, Ahmad,
Musa, Hamid, Ghazali, & Bakar, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Wulandari (2005) menunjukkan bahwa perilaku merokok remaja Indonesia secara
signifikan berhubungan dengan gender, perilaku merokok teman sebaya, sikap
terhadap perilaku merokok dan norma subyektif. Hasil penelitian Wulandari juga
menunjukkan bahwa perilaku merokok teman sebaya merupakan faktor yang paling
berkontribusi terhadap perilaku merokok remaja.
Hasil
penelitian lain menemukan bahwa sejumlah faktor yang terkait dengan perilaku
merokok antara lain: variable demografi dan performansi akademik, lingkungan
sosial, dan variable interpersonal seperti self
esteem, decision-making, assertiveness, dan harapan normatif teman sebaya
yang terkait perilaku merokok (Botvin, Baker, Goldberg, Dusenbury, &
Botvin, 1992). Penelitian ini dilakukan pada 608 orang remaja, siswa kelas 9.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa perilaku merokok dapat dihubungkan dengan
struktur keluarga dan usia, sedangkan intensitas perilaku terkait dengan gender,
performansi akademik, dan usia. Hasil penemuan juga menemukan bahwa baik
merokok maupun intensitas perilaku terkait dengan status merokok dari teman dan
saudara yang lebih tua.
Leventhal
dan Clearly (dalam Wulandari, 2005) menyatakan bahwa merokok dapat juga
dihubungkan dengan rewarding experiences yang
terjadi saat remaja yang ingin diterima secara sosial mulai melakukan perilaku
merokok untuk diterima. Setiap remaja merokok, pada saat kadar nikotin mencapai
tingkat tinggi, remaja mungkin mengasosiasikan tingginya kadar nikotin dengan
penerimaan atau perasaan aman, sehingga pada saat kadar nikotin rendah, mereka
cenderung merokok kembali untuk memperoleh perasaan aman. Brannon (2000)
menyatakan bahwa kebiasaan merokok akan membawa positive affect dan negative
affect pada perokok. Positive affect
dari merokok adalah untuk mencari peningkatan stimulasi yang dapat membawa
perokok pada keadaan rileks, sedangkan negative
affect, merokok dilakukan untuk mengurangi perasaan cemas, stress, bersalah
dan lain sebagainya.
Penelitian lain yang terkait
dengan merokok adalah penelitian yang dilakukan pada 167 perokok di tahun 2001.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa kepribadian dapat dihubungkan dengan
motivasi untuk merokok, lebih banyaknya perilaku merokok Individu untuk negative affect
control, dan lebih banyaknya Individu introvert yang merokok
untuk meningkatkan kemampuan sosial. Penelitian ini juga menemukan bahwa
merokok dapat dihubungkan self-efficacy untuk berhenti
merokok. Tingkat dari rendahnya self-efficacy dapat dihubungkan
dengan kebiasaan merokok, negative affect control, dan
rendahnya kemampuan sosial. Self-efficacy Individu untuk
berhenti merokok dihubungkan dengan motivasi untuk merokok, self efficacy yang lebih rendah dalam
merokok merupakan salah satu cara untuk mengontrol emosi negative dan coping
dengan situasi sosial sehingga perilaku merokok menjadi lebih atomatis dan
terbiasa (Joseph, Manafi, Iakovaki, & Cooper, 2003).
PEMBAHASAN
Perilaku
merokok A yang diawali dengan mencoba-coba terbentuk karena faktor lingkungan,
yaitu perilaku merokok ayahnya dan teman sebaya. Perilaku merokok yang coba
dilakukan A terjadi karena adanya model permbelajaran observational learning dari ayah dan teman sebayanya. Ayah A memang
melarang A untuk merokok, namun secara tidak langsung ayah A memberikan model
perilaku merokok kepada A. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Crain (2011)
yang menyatakan bahwa model pembelajaran Bandura memiliki peranan penting dalam
pengasuhan dan pendidikan anak. Kebanyakan orang tua telah menyadari bahwa
mereka mengajar dengan contoh, orang tua mungkin juga melupakan bagaimana
pengaruh model dalam belajar. Ayah A melarang A untuk melakukan perilaku
merokok, tetapi A yang melihat perilaku merokok yang dilakukan oleh sang ayah
secara tidak langsung dapat menjadikan ayahnya sebagai model perilaku
merokoknya.
Pengaruh
model perilaku merokok dari ayahnya juga diperkuat dengan model perilaku merokok
yang ditunjukkan oleh teman sebaya A. A banyak bergaul dengan teman sebaya yang
memiliki kebiasaan merokok. Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Bandura
(dalam Ross, 2007) bahwa social learning
dapat terjadi selama pembelajar mengobservasi orang secara nyata, mengobservasi
lingkungan atau mengobservasi televisi maupun media lainnya. A menyatakan bahwa
kebanyakan temannya merupakan perokok. jika kebanyakan teman sepergaulan A
merupakan perokok mungkin saja perilaku merokok yang ditunjukkan oleh A
merupakan hasil dari proses belajar sosial yang terjadi pada saat A
mengobservasi perilaku merokok dari teman-teman sepergaulannya. Banyaknya model
perilaku merokok dari teman sebaya makin memperkuat perilaku merokok A. Temuan mengenai perilaku merokok A
juga sesuai dengan hasil penelitian Wulandari (2005) bahwa perilaku merokok
teman sebaya merupakan faktor yang paling berkontribusi terhadap perilaku
merokok remaja.
Bandura
(dalam Santrock, 2011) mendeskripsikan empat kunci penting yang terdapat dalam
proses observational learning, yaitu:
atensi, retensi, produksi dan motivasi. Keempat kunci penting dalam proses observational learning yang terjadi pada
A dapat dijelaskan dengan gambaran sebagai berikut: (a) Proses atensi dalam
perilaku merokok yang dilakukan oleh A terjadi pada saat A memperhatikan model
perilaku merokok yang terdapat di sekitarnya yaitu ayah dan teman-teman sebaya.
(b) Proses yang kedua adalah retensi yang dapat terjadi jika Individu dapat
mengkodekan informasi dan menyimpannya di memori sehingga informasi tersebut
dapat dipanggil kembali. Retensi dapat ditingkatkan dengan adanya demonstrasi
yang logis, jelas, dan bersemangat (Bandura dalam Santrock, 2011). Adanya
contoh perilaku yang jelas dari teman-teman sebaya A yang kebanyakan merupakan
perokok, membuat proses retensi yang terjadi pada A menjadi lebih mudah
terjadi, sehingga A dapat mengingat dengan jelas gambaran perilaku merokok
berdasarkan hasil pengamatan A terhadap perilaku merokok teman sebayanya. (c)
kunci ketiga yaitu produksi, kemampuan mereproduksi perilaku model pada anak
dipengaruhi oleh kemampuan motorik anak (Bandura dalam Santrock, 2011). (d)
kunci terakhir adalah motivasi, pemberian motivasi dalam bentuk reinforcement atau insentif dapat
membuat anak mengimitasi perilaku model (Bandura dalam Santrock, 2011). A yang
melakukan perilaku merokok ketika berada dalam kelompoknya menjadi bagian dari
kelompok teman-temannya yang juga merokok. Hal ini mungkin membuat A merasa
diterima oleh teman-teman sebayanya. Reaksi penerimaan dari teman-teman
sebayanya menjadi reinforcement
menetapnya perilaku merokok dari A. Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat
Leventhal dan Clearly (dalam Wulandari, 2005) menyatakan bahwa merokok dapat
juga dihubungkan dengan rewarding
experiences yang terjadi saat remaja yang ingin diterima secara sosial
mulai melakukan perilaku merokok untuk diterima. Setiap remaja merokok, pada
saat kadar nikotin mencapai tingkat tinggi, remaja mungkin mengasosiasikan
tingginya kadar nikotin dengan penerimaan atau perasaan aman. Selain
berhubungan dengan penerimaan kelompok, perasaan aman yang diperoleh A pada
saat merokok juga terjadi pada saat A mengerjakan skripsi ataupun hal yang
lain. Pada saat mengerjakan skripsi, A mungkin merokok untuk meredakan
ketegangan yang terjadi. Dengan merokok sambil mengerjakan skripsi, A menjadi
lebih santai dan merasakan keadaan yang lebih tenang untuk mengerjakan skripsi.
Brannon
(2000) menyatakan bahwa kebiasaan merokok akan membawa positif affect, merokok dilakukan untuk mencari peningkatan
stimulasi yang dapat membawa perokok pada keadaan rileks. Pada saat A tidak
melakukan kegiatan merokok, A akan merasa ada yang kurang, tidak tenang dan
pusing. Saat A merasakan keadaan yang tidak nyaman ketika perilaku merokok
tidak dilakukan, Hal ini membuat AP menjadi tidak tenang dan kembali mengulang
perilaku merokok untuk memeroleh perasaan tenang dan nyaman. Perasaan nyaman
dan tenang yang diperoleh A dalam kondisi seperti ini telah menjadi reinforcement untuk perilaku merokok A
sehingga A terus menerus mengulang perilaku merokoknya.
KESIMPULAN
Dari
hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku
merokok dapat terjadi melalui proses observational
learning yang dilakukan dengan mencontoh model dari orang terdekat, yaitu
orang tua dan teman sebaya. Perilaku
merokok pada A terjadi melalui observational
learning yang diperoleh subyek melalui model yang terdapat di sekitarnya
yaitu ayah dan teman sebaya subyek yang sebagian besar merupakan perokok.Perilaku
merokok dapat meningkat dengan adanya reinforcement
dari lingkungan maupun dari efek yang ditimbulkan pada saat merokok. Reinforcement untuk perilaku merokok AP
yaitu penerimaan dari teman sebaya serta perasaan tenang dan nyaman yang
diperoleh AP pada saat merokok.
Kelemahan dari tulisan saya yah masih
menggunakan 1 subyek sehingga belum bisa digeneralisasi...sehingga mungkin tidak dapat menjelaskan terjadinya perilaku merokok pada subyek yang lain atau pada kelompok yang berbeda....
DAFTAR PUSTAKA
Aryanti,
Y. (2011). Hubungan antara sikap terhadap
kesehatan dan kecenderungan proses perilaku merokok pada remaja awal.
(dikutip dari http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1156/1/10506241.pdf, 27 Desember 2012).
Botvin, G.J., Baker,
E., Goldberg, C.J., Dusenbury, L., & Botvin, E.M. (1992). Correlates and predictors of smoking among
black adolescents. Addictive Behavior,
vol 17, 97-103.
Brannon,
L. (2000). Health psychology. Belmont,
CA: Wadsworth.
Crain,
W. (2011). Theories of development 6th
edition. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Istman.
(2012). Jumlah perempuan perokok di
Indonesia naik empat kali lipat. (dikutip dari http://www.tempo.co/read/news/2012/05/26/173406251/Jumlah-Perempuan-Perokok-di-Indonesia-Naik-Empat-Kali-Lipat).
Joseph, S., Manafi, E., Iakovaki, A.M., & Cooper, R. (2003). Personality, smoking motivation, and self-efficacy to quit. Personality and Individual Differences,Vol 34: 749–758
Naing,
N.N., Ahmad Z., Musa R., Hamid F.R.A, Ghazali H., & Abu Bakar M.H. (2004) Factors
related to smoking habits of male adolescents. Tobacco Induced Diseases, 2(3): 133-140.
Santrock,
J.W. (2011). Educational psychology 5th
edition. New York, NY: McGraw-Hill.
Ross,
S.N. (2007). The preager handbook of
education and psychology vol. 1. Shirley R. Steinberg (Editor). Westport, CT:
Preager.
Wulandari, D. (2005).
Adolescent smoking behavior: determinants of smoking in Indonesian adolescent. Jurnal Psikologi Universitas Paramadina,
3(3): 1-29
0 comments:
Posting Komentar