Sabtu, 09 November 2013

MEROKOK dan BELAJAR OBSERVASI


Terlalu lama tidak nge-post, kali ini saya mencoba menyajikan salah satu makalah yang saya buat pada tugas psikologi belajar yang dibimbing Bu Tia yang cantik...hehehe. Tema merokok yang saya angkat dalam tugas kali ini. Mohon maaf bila analisis yang saya lakukan masih sangat sederhana dan mungkin bagi sebagian orang tidak bagus. Lebih jelasnya, silahkan dilihat...^_^

PENDAHULUAN  
Perilaku merokok pada masa sekarang tampaknya telah menjadi hal yang biasa. Hal tersebut terlihat dari peningkatan jumlah perokok yang makin tahun makin bertambah. Pendapat tersebut didukung dengan pernyataan dari Abdillah (dalam Istman, 2012) yang menyatakan bahwa dibandingkan tahun 1995 yang memiliki jumlah perokok di Indonesia 34,7 juta jiwa, tahun 2007, jumlah perokok telah melonjak nyaris dua kali lipat, 65,2 juta perokok.
Peningkatan jumlah perokok tersebut tidak hanya disebabkan oleh peningkatan jumlah perokok laki-laki, melainkan juga peningkatan jumlah perokok perempuan. Abdilah (dalam Istman, 2012) menyatakan bahwa jika dilihat dati jumlah perokok pria, ditemukan peningkatan jumlah perokok nyaris dua kali lipat dari rentang waktu 1995-2007. Pada tahun 2007, jumlah perokok pria mencapai angka 60,4 juta perokok dari sebelumnya 33,8 juta pada tahun 1995. Jumlah perokok wanita juga mengalami peningkatan sebanyak empat kali lipat pada rentang waktu 1995-2007. Tahun 2007, terdapat 4,8 juta perempuan perokok dari yang sebelumnya hanya 1,1 juta perokok pada tahun 1995.
Perilaku merokok diakui oleh beberapa orang berawal dari keinginan untuk mencoba yang berlanjut menjadi kebiasaan. Salah satunya adalah A (23 Tahun). A merupakan seorang pemuda yang saat ini sedang menjalani perkuliahan sebagai mahasiswa program pasca sarjana salah satu universitas di Jakarta. Perilaku  merokok mulai  dilakukan oleh A pada sekitar tahun 1999/2000 ketika A masih  duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. Awalnya A hanya mencoba-coba saja sehingga pada saat itu, A hanya melakukan perilaku merokok sekitar sekali seminggu.
Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku merokok A yang telah naik ke kelas 6 Sekolah Dasar meningkat. A mampu menghabiskan setengah bungkus rokok seminggu bahkan kurang dari seminggu, sehari A mampu menghabiskan 2 batang rokok. Perilaku A makin hari makin bertambah bahkan ketika akhirnya A masuk pesantren semasa SMP, perilaku merokok A makin bertambah parah. Pada masa itu, A yang telah duduk di bangku SMP telah mampu menghabiskan sebungkus rokok dalam setengah hari saja dan makin bertambah menjadi 2 bungkus sehari ketika duduk di bangku SMA. Perilaku merokok A ketika kuliah juga menjadi makin parah. Selama kuliah, A mampu menghabiskan 3 sampai 4 bungkus rokok sehari. Perilaku merokok paling sering dilakukan A saat sedang melakukan kegiatan seperti bermain game, menyetir mobil untuk perjalanan jauh, dan mengerjakan tugas kuliah. Perilaku merokok A yang awalnya dirasakan biasa saja berubah menjadi suatu kebutuhan. Pada saat A tidak melakukan kegiatan merokok, A akan merasa ada yang kurang, tidak tenang dan pusing. Hal tersebut membuat A yang pada saat itu mengerjakan skripsinya dapat menghabiskan 1 karton kecil rokok (isi 100bungkus) kurang dari sebulan. 
A mengakui ayahnya sewaktu masih hidup memiliki kebiasaan merokok, meski demikian, ayahnya justru tidak membolehkan A untuk melakukan perilaku merokok. Ibu A berprofesi sebagai pengajar yang peduli akan kesehatan seringkali menasihati A untuk berhenti merokok, tetapi perkataan ibunya sering kali diabaikan oleh A. Di lingkungan keluarga A bisa dilihat bahwa ayah A melakukan perilaku merokok. Di lingkungan teman sebaya, A mengakui semua teman-temannya merokok.

KAJIAN PUSTAKA
1. Observational Learning
Santrock (2011) menyatakan observational learning sebagai belajar yang melibatkan pemerolehan kemampuan, strategi, dan kepercayaan/keyakinan dengan mengobservasi orang lain. Observational learning tidak terbatas hanya pada proses imitasi, tetapi lebih pada bentuk atau strategi umum yang sering diaplikasikan dalam cara-cara yang kreatif. Bandura (dalam Crain, 2011) menyatakan bahwa dalam situasi sosial, Individu dengan mudah dapat belajar secara lebih baik dengan mengobservasi perilaku orang lain.
Bandura (dalam Santrock, 2011) mendeskripsikan empat kunci penting yang terdapat dalam proses observational learning, yaitu: (a) atensi yang terjadi pada saat Individu memperhatikan apa yang dilakukan atau dikatakan oleh model yang memiliki karakteristik tertentu (b) retensi yang dapat terjadi jika Individu dapat mengkodekan informasi dan menyimpannya di memori sehingga informasi tersebut dapat dipanggil kembali. Retensi dapat ditingkatkan dengan adanya demonstrasi yang logis, jelas, dan bersemangat, (c) produksi, kemampuan mereproduksi perilaku model pada anak dipengaruhi oleh kemampuan motorik anak, dan (d) motivasi, pemberian motivasi dalam bentuk reinforcement atau insentif dapat membuat anak mengimitasi perilaku model.
Crain (2011) menyatakan bahwa model pembelajaran Bandura memiliki peranan penting dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Kebanyakan orang tua telah menyadari bahwa mereka mengajar dengan contoh, orang tua mungkin juga melupakan bagaimana pengaruh model dalam belajar. Bandura (dalam Ross, 2007) memberikan hipotesis bahwa social learning dapat terjadi selama pembelajar mengobservasi orang secara nyata, mengobservasi lingkungan atau mengobservasi televisi maupun media lainnya. Secara umum, anak-anak lebih cenderung dapat mengaitkan observational learning dibandingkan orang dewasa, dan orang yang tidak memiliki pengalaman akan lebih banyak melakukan perilaku tertentu dibandingkan dengan orang yang telah berpengalaman. Bandura menganggap Individu menggunakan bahasa dan simbol untuk mengartikan pengamatan perilaku model secara sosial menjadi panduan untuk perilaku mendatang. Motivasi manusia dan self management memengaruhi muncul atau tidaknya perilaku model yang telah diobservasi oleh Individu sebelumnya. Motivasi manusia dan self management tersebut dihasilkan dari struktur internal yang disebut self-system.
Bandura (dalam Ross, 2007) mendefinisikan self system sebagai satu set struktur kognitif yang memengaruhi persepsi, evaluasi dan behavior regulation. Bandura yakin bahwa Individu secara sadar mengaitkan self system untuk mengevaluasi perilaku yang berhubungan dengan pengalaman sebelumnya dan konsekuensi yang diperoleh di masa mendatang. Menurut Bandura, anak-anak cenderung mengadopsi standar evaluasi diri dari teman sebaya dibandingkan dengan standar evaluasi diri orang dewasa. Hal tersebut disebabkan anak-anak lebih mudah mencapai standar yang dimiliki oleh teman sebaya.beberapa orang menetapkan standar evaluasi diri yang tinggi dan kemudian merasa kecewa serta depresi ketika standar tersebut sulit dicapai. Bandura menyatakan bahwa beberapa orang dapat menghindari depresi dengan tetap berfokus pada tujuannya (Crain, 2011). 
2. Merokok
Amstrong (dalam Aryanti, 2011) mendefinisikan merokok sebagai menghisap tembakau yang terbakar ke dalam tubuh dan menghembuskannya lagi ke luar. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku merokok, antara lain: mengikuti teman, merasa telah dewasa, merasa menyenangkan, mengikuti orang tua, untuk rileks di waktu senggang, dan perilaku yang wajar sebagai seorang laki-laki (Naing, Ahmad, Musa, Hamid, Ghazali, & Bakar, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2005) menunjukkan bahwa perilaku merokok remaja Indonesia secara signifikan berhubungan dengan gender, perilaku merokok teman sebaya, sikap terhadap perilaku merokok dan norma subyektif. Hasil penelitian Wulandari juga menunjukkan bahwa perilaku merokok teman sebaya merupakan faktor yang paling berkontribusi terhadap perilaku merokok remaja.
Hasil penelitian lain menemukan bahwa sejumlah faktor yang terkait dengan perilaku merokok antara lain: variable demografi dan performansi akademik, lingkungan sosial, dan variable interpersonal seperti self esteem, decision-making, assertiveness, dan harapan normatif teman sebaya yang terkait perilaku merokok (Botvin, Baker, Goldberg, Dusenbury, & Botvin, 1992). Penelitian ini dilakukan pada 608 orang remaja, siswa kelas 9. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa perilaku merokok dapat dihubungkan dengan struktur keluarga dan usia, sedangkan intensitas perilaku terkait dengan gender, performansi akademik, dan usia. Hasil penemuan juga menemukan bahwa baik merokok maupun intensitas perilaku terkait dengan status merokok dari teman dan saudara yang lebih tua. 
Leventhal dan Clearly (dalam Wulandari, 2005) menyatakan bahwa merokok dapat juga dihubungkan dengan rewarding experiences yang terjadi saat remaja yang ingin diterima secara sosial mulai melakukan perilaku merokok untuk diterima. Setiap remaja merokok, pada saat kadar nikotin mencapai tingkat tinggi, remaja mungkin mengasosiasikan tingginya kadar nikotin dengan penerimaan atau perasaan aman, sehingga pada saat kadar nikotin rendah, mereka cenderung merokok kembali untuk memperoleh perasaan aman. Brannon (2000) menyatakan bahwa kebiasaan merokok akan membawa positive affect dan negative affect pada perokok. Positive affect dari merokok adalah untuk mencari peningkatan stimulasi yang dapat membawa perokok pada keadaan rileks, sedangkan negative affect, merokok dilakukan untuk mengurangi perasaan cemas, stress, bersalah dan lain sebagainya. 
Penelitian lain yang terkait dengan merokok adalah penelitian yang dilakukan pada 167 perokok di tahun 2001. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kepribadian dapat dihubungkan dengan motivasi untuk merokok, lebih banyaknya perilaku merokok Individu untuk negative aect control, dan lebih banyaknya Individu introvert yang merokok untuk meningkatkan kemampuan sosial. Penelitian ini juga menemukan bahwa merokok dapat dihubungkan self-ecacy untuk berhenti merokok. Tingkat dari rendahnya self-ecacy dapat dihubungkan dengan kebiasaan merokok, negative aect control, dan rendahnya kemampuan sosial. Self-ecacy Individu untuk berhenti merokok dihubungkan dengan motivasi untuk merokok, self efficacy yang lebih rendah dalam merokok merupakan salah satu cara untuk mengontrol emosi negative dan coping dengan situasi sosial sehingga perilaku merokok menjadi lebih atomatis dan terbiasa (Joseph, Manafi, Iakovaki, & Cooper, 2003).
 
PEMBAHASAN
Perilaku merokok A yang diawali dengan mencoba-coba terbentuk karena faktor lingkungan, yaitu perilaku merokok ayahnya dan teman sebaya. Perilaku merokok yang coba dilakukan A terjadi karena adanya model permbelajaran observational learning dari ayah dan teman sebayanya. Ayah A memang melarang A untuk merokok, namun secara tidak langsung ayah A memberikan model perilaku merokok kepada A. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Crain (2011) yang menyatakan bahwa model pembelajaran Bandura memiliki peranan penting dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Kebanyakan orang tua telah menyadari bahwa mereka mengajar dengan contoh, orang tua mungkin juga melupakan bagaimana pengaruh model dalam belajar. Ayah A melarang A untuk melakukan perilaku merokok, tetapi A yang melihat perilaku merokok yang dilakukan oleh sang ayah secara tidak langsung dapat menjadikan ayahnya sebagai model perilaku merokoknya.
Pengaruh model perilaku merokok dari ayahnya juga diperkuat dengan model perilaku merokok yang ditunjukkan oleh teman sebaya A. A banyak bergaul dengan teman sebaya yang memiliki kebiasaan merokok. Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Bandura (dalam Ross, 2007) bahwa social learning dapat terjadi selama pembelajar mengobservasi orang secara nyata, mengobservasi lingkungan atau mengobservasi televisi maupun media lainnya. A menyatakan bahwa kebanyakan temannya merupakan perokok. jika kebanyakan teman sepergaulan A merupakan perokok mungkin saja perilaku merokok yang ditunjukkan oleh A merupakan hasil dari proses belajar sosial yang terjadi pada saat A mengobservasi perilaku merokok dari teman-teman sepergaulannya. Banyaknya model perilaku merokok dari teman sebaya makin memperkuat perilaku merokok A. Temuan mengenai perilaku merokok A juga sesuai dengan hasil penelitian Wulandari (2005) bahwa perilaku merokok teman sebaya merupakan faktor yang paling berkontribusi terhadap perilaku merokok remaja.
Bandura (dalam Santrock, 2011) mendeskripsikan empat kunci penting yang terdapat dalam proses observational learning, yaitu: atensi, retensi, produksi dan motivasi. Keempat kunci penting dalam proses observational learning yang terjadi pada A dapat dijelaskan dengan gambaran sebagai berikut: (a) Proses atensi dalam perilaku merokok yang dilakukan oleh A terjadi pada saat A memperhatikan model perilaku merokok yang terdapat di sekitarnya yaitu ayah dan teman-teman sebaya. (b) Proses yang kedua adalah retensi yang dapat terjadi jika Individu dapat mengkodekan informasi dan menyimpannya di memori sehingga informasi tersebut dapat dipanggil kembali. Retensi dapat ditingkatkan dengan adanya demonstrasi yang logis, jelas, dan bersemangat (Bandura dalam Santrock, 2011). Adanya contoh perilaku yang jelas dari teman-teman sebaya A yang kebanyakan merupakan perokok, membuat proses retensi yang terjadi pada A menjadi lebih mudah terjadi, sehingga A dapat mengingat dengan jelas gambaran perilaku merokok berdasarkan hasil pengamatan A terhadap perilaku merokok teman sebayanya. (c) kunci ketiga yaitu produksi, kemampuan mereproduksi perilaku model pada anak dipengaruhi oleh kemampuan motorik anak (Bandura dalam Santrock, 2011). (d) kunci terakhir adalah motivasi, pemberian motivasi dalam bentuk reinforcement atau insentif dapat membuat anak mengimitasi perilaku model (Bandura dalam Santrock, 2011). A yang melakukan perilaku merokok ketika berada dalam kelompoknya menjadi bagian dari kelompok teman-temannya yang juga merokok. Hal ini mungkin membuat A merasa diterima oleh teman-teman sebayanya. Reaksi penerimaan dari teman-teman sebayanya menjadi reinforcement menetapnya perilaku merokok dari A. Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Leventhal dan Clearly (dalam Wulandari, 2005) menyatakan bahwa merokok dapat juga dihubungkan dengan rewarding experiences yang terjadi saat remaja yang ingin diterima secara sosial mulai melakukan perilaku merokok untuk diterima. Setiap remaja merokok, pada saat kadar nikotin mencapai tingkat tinggi, remaja mungkin mengasosiasikan tingginya kadar nikotin dengan penerimaan atau perasaan aman. Selain berhubungan dengan penerimaan kelompok, perasaan aman yang diperoleh A pada saat merokok juga terjadi pada saat A mengerjakan skripsi ataupun hal yang lain. Pada saat mengerjakan skripsi, A mungkin merokok untuk meredakan ketegangan yang terjadi. Dengan merokok sambil mengerjakan skripsi, A menjadi lebih santai dan merasakan keadaan yang lebih tenang untuk mengerjakan skripsi. Brannon (2000) menyatakan bahwa kebiasaan merokok akan membawa positif affect, merokok dilakukan untuk mencari peningkatan stimulasi yang dapat membawa perokok pada keadaan rileks. Pada saat A tidak melakukan kegiatan merokok, A akan merasa ada yang kurang, tidak tenang dan pusing. Saat A merasakan keadaan yang tidak nyaman ketika perilaku merokok tidak dilakukan, Hal ini membuat AP menjadi tidak tenang dan kembali mengulang perilaku merokok untuk memeroleh perasaan tenang dan nyaman. Perasaan nyaman dan tenang yang diperoleh A dalam kondisi seperti ini telah menjadi reinforcement untuk perilaku merokok A sehingga A terus menerus mengulang perilaku merokoknya. 

KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok dapat terjadi melalui proses observational learning yang dilakukan dengan mencontoh model dari orang terdekat, yaitu orang tua dan teman sebaya. Perilaku merokok pada A terjadi melalui observational learning yang diperoleh subyek melalui model yang terdapat di sekitarnya yaitu ayah dan teman sebaya subyek yang sebagian besar merupakan perokok.Perilaku merokok dapat meningkat dengan adanya reinforcement dari lingkungan maupun dari efek yang ditimbulkan pada saat merokok. Reinforcement untuk perilaku merokok AP yaitu penerimaan dari teman sebaya serta perasaan tenang dan nyaman yang diperoleh AP pada saat merokok.
 
Kelemahan dari tulisan saya yah masih menggunakan 1 subyek sehingga belum bisa digeneralisasi...sehingga mungkin tidak dapat menjelaskan terjadinya perilaku merokok pada subyek yang lain atau pada kelompok yang berbeda....

DAFTAR PUSTAKA

Aryanti, Y. (2011). Hubungan antara sikap terhadap kesehatan dan kecenderungan proses perilaku merokok pada remaja awal. (dikutip dari http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1156/1/10506241.pdf, 27 Desember 2012).
Botvin, G.J., Baker, E., Goldberg, C.J., Dusenbury, L., & Botvin, E.M. (1992). Correlates and predictors of smoking among black adolescents. Addictive Behavior, vol 17, 97-103.
Brannon, L. (2000). Health psychology. Belmont, CA: Wadsworth.
Crain, W. (2011). Theories of development 6th edition. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Istman. (2012). Jumlah perempuan perokok di Indonesia naik empat kali lipat. (dikutip dari http://www.tempo.co/read/news/2012/05/26/173406251/Jumlah-Perempuan-Perokok-di-Indonesia-Naik-Empat-Kali-Lipat).

Joseph, S., Manafi, E., Iakovaki, A.M., & Cooper, R. (2003). Personality, smoking motivation, and self-ecacy to quit. Personality and Individual Differences,Vol 34: 749–758
Naing, N.N., Ahmad Z., Musa R., Hamid F.R.A, Ghazali H., & Abu Bakar M.H. (2004) Factors related to smoking habits of male adolescents. Tobacco Induced Diseases, 2(3): 133-140.
Santrock, J.W. (2011). Educational psychology 5th edition. New York, NY: McGraw-Hill.
Ross, S.N. (2007). The preager handbook of education and psychology vol. 1.  Shirley R. Steinberg (Editor). Westport, CT: Preager.
Wulandari, D. (2005). Adolescent smoking behavior: determinants of smoking in Indonesian adolescent. Jurnal Psikologi Universitas Paramadina, 3(3): 1-29




0 comments:

Template by:

Free Blog Templates