Minggu, 18 Desember 2011

KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PSIKOLOGI


Kasus II
Contoh kasus kedua merupakan kasus yang sebenarnya telah terekspos agak lama.

            Elizabeth Loftus telah melanggar kode etik dalam wilayah psikologi. Pada tahun 1997, David Corwin menerbitkan artikel yang berjudul “Videotaped discovery of a reportedly unrecallable memory of child sexual abuse: comparison with a childhood interview videotaped 11 years ago”. Wanita yang yang disebut Jane Doe, telah menyetujui publikasian atas kasus yang dialaminya dalam artikel tersebut. Loftus, Melvin Guyer, dan seorang investigator rahasia menyelidiki identitas asli dari Jean Doe tersebut. Mereka mewawancarai ibu, saudara laki-laki, ibu tiri dan ibu asuhnya. Investigator juga berusaha untuk menghubungi Jean Doe tetapi selalu gagal. Kemudian pada bulan
Mei dan Juli 2001, dua artikel penyelidikan yang berjudul “Who abused Jane Doe?” dipublikasikan oleh Loftus dan Melvin Guyer. Hal tersebut dilakukan oleh keduanya tanpa terlebih dahulu memberitahu Corwin atau Jane untuk meminta izin atas identitas Jane tersebut. Lotus juga tidak menjawab respon dari Universitas of Washington’s Institutional Review Board (IRB) mengenai penelitian mereka terhadap Jean Doe tersebut. Loftus mengklaim bahwa Michigan’s IRB telah memberikannya izin untuk melakukan penyelidikan. Corwin, kemudian menghubungi Universitas Michigan’s IRB dan diinformasikan  bahwa mereka tidak memiliki izin mengenai kasus tersebut dari Guyer.  
            Dia meminta Corwin untuk meminta izin untuk mewawancarai jane dan mereview rekamannya. Loftus percaya bahwa ia dibenarkan dalam membuka identitas Jane. Dia percaya bahwa peraturan kerahasiaan yang digunakan untuk melindungi pasien atau objek penyelidikan tidak perlu digunakan untuk menyembunyikan kenyataan. Di pertengahan investigasi, Loftus dipanggil oleh Corwin. Corwin menyatakan bahwa Jane ingin terus berkomunikasi dengannya. Jane memberitahu pada Universitas of Washington bahwa dia tidak setuju Loftus mendatangi ibu dan ibu tirinya untuk wawancara.
            Loftus dan Guyer (2002) menyebutkan tanggal pernikahan ayah dan ibu Jane, menyebutkan nama direktur dari rumah sakit tempat Jane dirawat, dan menyebutkan bahwa Jane berusia 5 tahun pada tahun 1984 pada artikelnya. Hal tersebut menyebabkan orang-orang yang membaca artikel tersebut menjadi mudah untuk memperoleh informasi mengenai Jane.

TINJAUAN PUSTAKA
Rifani (2008) mengemukakan bahwa terdapat beberapa asas yang terkandung dalam Kode etik psikologi, yaitu: asas confidentialitas, privacy dan privilege. Asas confidentialitas merupakan asas kerahasiaan, dimana dalam menjalankan profesinya, psikolog harus berpegang teguh kerahasiaan klien. Pengungkapan identitas subjek dan penelitian juga tercantum dalam Bab V, Pasal 23 Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI, 2011) mengenai rekam psikologi, pasal 24 mengenai mempertahankan kerahasiaan data, pasal 26 mengenai pengungkapan kerahasiaan data, pasal 47 mengenai aturan dan izin penelitian, pasal 48 mengenai partisipan penelitian, serta pasal 49 mengenai informed consent dalam penelitian.
Bab V kode etik psikologi Indonesia mengenai kerahasiaan rekam dan hasil pemeriksaan psikologi, pasal 23 berbunyi:
Jenis Rekam Psikologi adalah rekam psikologi lengkap dan rekam psikologi terbatas.
(1) Rekam Psikologi Lengka
p
a)    Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat, menyimpan (mengarsipkan), menjaga, memberikan catatan dan data yang berhubungan dengan penelitian, praktik, dan karya lain sesuai dengan hukum yang berlaku dan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan Kode Etik Psikologi Indonesia.
b)    Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat dokumentasi atas karya profesional dan ilmiah mereka untuk:
i.   memudahkan pengguna layanan psikologi mereka dikemudian hari baik oleh mereka sendiri atau oleh profesional lainnya.
ii. bukti pertanggungjawaban telah dilakukannya pemeriksaan psikologi.
iii.         memenuhi prasyarat yang ditetapkan oleh institusi ataupun hukum.
c)    Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjaga kerahasiaan klien dalam hal pencatatan, penyimpanan, pemindahan, dan pemusnahan catatan/data di bawah pengawasannya.
d)    Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjaga dan memusnahkan catatan dan data, dengan memperhatikan kaidah hukum atau perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan pelaksanaan kode etik ini.
e)    Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mempunyai dugaan kuat bahwa catatan atau data mengenai jasa profesional mereka akan digunakan untuk keperluan hukum yang melibatkan penerima atau partisipan layanan psikologi mereka, maka Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi bertanggung jawab untuk membuat dan mempertahankan dokumentasi yang telah dibuatnya secara rinci, berkualitas dan konsisten, seandainya diperlukan penelitian dengan cermat dalam forum hukum.
f)     Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan pemeriksaan layanan psikologi terhadap seseorang dan menyimpan hasil pemeriksaan psikologinya dalam arsip sesuai dengan ketentuan, karena sesuatu hal tidak memungkinkan lagi menyimpan data tersebut, maka demi kerahasiaan pengguna layanan psikologi, sebelumnya Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyiapkan pemindahan tempat atau pemberian kekuasaan pada sejawat lain terhadap data hasil pemeriksaan psikologi tersebut dengan tetap menjaga kerahasiaannya. Pelaksanaan dalam hal ini harus di bawah pengawasannya, yang dapat dalam bentuk tertulis atau lainnya.
(2)   Rekam Psikologis untuk Kepentingan Khusus
a)  Laporan pemeriksaan Psikologi untuk kepentingan khusus hanya dapat diberikan kepada personal atau organisasi yang membutuhkan dan berorientasi untuk kepentingan atau kesejahteraan orang yang mengalami pemeriksaan psikologi.
b)  Laporan Pemeriksaan Psikologi untuk kepentingan khusus dibuat sesuai dengan kebutuhan dan tetap mempertimbangkan unsur-unsur ketelitian dan ketepatan hasil pemeriksaan serta menjaga kerahasiaan orang yang mengalami pemeriksaan psikologi.
Pasal 24 kode etik psikologi Indonesia mengenai mempertahankan kerahasiaan data berbunyi:
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau pengguna layanan psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya. Penggunaan keterangan atau data mengenai pengguna layanan psikologi atau orang yang menjalani layanan psikologi yang diperoleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam rangka pemberian layanan Psikologi, hendaknya mematuhi hal-hal sebagai berikut:
a)    Dapat diberikan hanya kepada yang berwenang mengetahuinya dan hanya memuat hal-hal yang langsung berkaitan dengan tujuan pemberian layanan psikologi.
b)    Dapat didiskusikan hanya dengan orangorang atau pihak yang secara langsung berwenang atas diri pengguna layanan psikologi.
c)    Dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan pengguna layanan psikologiprofesi, dan akademisi.
Dalam kondisi tersebut indentitas orang yang menjalani pemeriksaan psikologi tetap dijaga kerahasiaannya. Seandainya data orang yang menjalani layanan psikologi harus dimasukkan ke data dasar (database) atau sistem pencatatan yang dapat diakses pihak lain yang tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan maka Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menggunakan kode atau cara lain yang dapat melindungi orang tersebut dari kemungkinan untuk bisa dikenali.

Pasal 26 kode etik psikologi Indonesia mengenai pengungkapan kerahasiaan data, berbunyi:
(1)  Sejak awal Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus sudah merencanakan agar data yang dimiliki terjaga kerahasiaannya dan data itu tetap terlindungi, bahkan sesudah ia meninggal dunia, tidak mampu lagi, atau sudah putus hubungan dengan posisinya atau tempat praktiknya.
(2)  Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu menyadari bahwa untuk pemilikan catatan dan data yang termasuk dalam klarifikasi rahasia, penyimpanan, pemanfaatan, dan pemusnahan data atau catatan tersebut diatur oleh prinsip legal.
(3)  Cara pencatatan data yang kerahasiaannya harus dilindungi mencakup data pengguna layanan psikologi yang seharusnya tidak dikenai biaya atau pemotongan pajak. Dalam hal ini, pencatatan atau pemotongan pajak mengikuti aturan sesuai hukum yang berlaku.
(4)  Dalam hal diperlukan persetujuan terhadap protokol riset dari dewan penilai. Data dan informasi hasil layanan psikologi bila diperlukan untuk kepentingan pendidikan, data harus disajikan sebagaimana adanya dengan menyamarkan nama orang atau lembaga yang datanya digunakan. nisnya dan memerlukan identifikasi personal, maka identitas itu harus dihapuskan sebelum datanya dapat diakses.
(5)  Dalam hal diperlukan pengungkapan rahasia maka Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat membuka rahasia tanpa persetujuan klien hanya dalam rangka keperluan hukum atau tujuan lain, seperti membantu mereka yang memerlukan pelayanan profesional, baik secara perorangan maupun organisasi serta untuk melindungi pengguna layanan psikologi dari masalah atau kesulitan.

Bab IX mengenai penelitian dan publikasi pasal 45 mengenai pedoman umum:
(1) Penelitian adalah suatu rangkaian proses secara sistematis berdasar pengetahuan yang bertujuan memperoleh fakta dan/atau menguji teori dan/atau menguji intervensi yang menggunakan metode ilmiah dengan cara mengumpulkan, mencatat dan menganalisis data.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan penelitian diawali dengan menyusun dan menuliskan rencana penelitian sedemikian rupa dalam proposal dan protokol penelitian sehingga dapat dipahami oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat desain penelitian, melaksanakan, melaporkan hasilnya yang disusun sesuai dengan standar atau kompetensi ilmiah dan etika penelitian.
Pasal 47 kode etik psikologi Indonesia mengenai aturan dan izin penelitian:

(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memenuhi aturan profesional dan ketentuan yang berlaku, baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan penulisan publikasi penelitian. Dalam hal ini termasuk izin penelitian dari instansi terkait dan dari pemangku wewenang dari wilayah dan badan setempat yang menjadi lokasi.
(2) Jika persetujuan lembaga, komite riset atau instansi lain terkait dibutuhkan, Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi harus memberikan informasi akurat mengenai rancangan penelitian sesuai dengan protokol penelitian dan memulai penelitian setelah memperoleh persetujuan.

Pasal 48 kode etik psikologi Indonesia mengenai partisipan penelitian:
(1)   Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah untuk melindungi perorangan atau kelompok yang akan menjadi partisipan penelitian dari konsekuensi yang tidak menyenangkan, baik dari keikutsertaan atau penarikan diri/pengunduran dari keikutsertaan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berinteraksi dengan partisipan penelitian hanya di lokasi dan dalam hal-hal yang sesuai dengan rancangan penelitian, yang konsisten dengan  perannya sebagai peneliti ilmiah. Pelanggaran terhadap hal ini dan adanya tindakan penyalahgunaan wewenang dapat dikenai butir pelanggaran seperti tercantum dalam pasal dan bagian-bagian lain dari Kode Etik ini (misalnya pelecehan seksual dan bentuk pelecehan lain).
(3)   Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memberi kesempatan adanya pilihan kegiatan lain kepada partisipan mahasiswa, peserta pendidikan, anak buah/bawahan, orang yang sedang menjalani pemeriksaan psikologi bila ingin tidak terlibat/mengundurkan diri dari keikutsertaan dalam penelitian yang menjadi bagian dari suatu proses yang diwajibkan dan dapat dipergunakan untuk memperoleh kredit tambahan.

Pasal 49 kode etik psikologi Indonesia mengenai informed consent dalam penelitian yang berbunyi:
Sebelum pengambilan data penelitian Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan pada calon partisipan penelitian dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan istilah-istilah yang dipahami masyarakat umum tentang penelitian yang akan dilakukan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan kepada calon partisipan asas kesediaan sebagai partisipan penelitian yang menyatakan bahwa keikutsertaan dalam penelitian yang dilakukan bersifat sukarela, sehingga memungkinkan pengunduran diri atau penolakan untuk terlibat. Partisipan harus menyatakan kesediaannya seperti yang dijelaskan pada pasal yang mengatur tentang itu.
(1)  Informed consent Penelitian
Dalam rangka mendapat persetujuan dari calon partisipan, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan proses penelitian. Secara lebih terinci informasi yang penting untuk disampaikan adalah:
a)    Tujuan penelitian, jangka waktu dan prosedur, antisipasi dari keikutsertaan, yang bila diketahui mungkin dapat mempengaruhi kesediaan untuk berpartisipasi, seperti risiko yang mungkin timbul, ketidaknyamanan, atau efek sebaliknya; keuntungan yang mungkin diperoleh dari penelitian; hak untuk menarik diri dari keikutsertaan dan mengundurkan diri dari penelitian setelah penelitian dimulai, konsekuensi yang mungkin timbul dari penarikan
dan pengunduran diri; keterbatasan kerahasiaan; insentif untuk partisipan; dan siapa yang dapat dihubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut.
b) Jika partisipan penelitian tidak dapat membuat persetujuan karena keterbatasan atau kondisi khusus, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan upaya memberikan penjelasan dan mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang yang mewakili partisipan, atau melakukan upaya lain seperti diatur oleh aturan yang berlaku.
c)    Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang mengadakan penelitian intervensi dan/atau eksperimen, di awal penelitian menjelaskan pada partisipan tentang perlakuan yang akan dilaksanakan; pelayanan yang tersedia bagi partisipan; alternatif penanganan yang tersedia apabila individu menarik diri selama proses penelitian; dan kompensasi atau biaya keuangan untuk berpartisipasi; termasuk pengembalian uang dan halhal lain terkait bila memang ada ketika menawarkan kesediaan partisipan dalam penelitian.
d)    Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha menghindari penggunaan segala bentuk pemaksaan termasuk daya tarik yang berlebihan agar partisipan ikut serta dalam penelitian. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan sifat dari penelitian tersebut, berikut risiko, kewajiban dan keterbatasannya.
(2)   Informed Consent Perekaman Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sebelum merekam suara atau gambar untuk pengumpulan data harus memperoleh izin tertulis dari partisipan penelitian. Persetujuan tidak diperlukan bila perekaman murni untuk kepentingan observasi alamiah di tempat umum dan diantisipasi tidak akan berimplikasi teridentifikasi atau terancamnya kesejahteraan atau keselamatan partisipan penelitian atau pihak-pihak terkait. Bila pada suatu penelitian dibutuhkan perekaman tersembunyi, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan perekaman dengan tetap meminimalkan risiko yang diantisipasi dapat terjadi pada partisipan, dan penjelasan mengenai kepentingan perekaman disampaikan dalam debriefing.
(3)   Pengabaian informed consent Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak harus meminta persetujuan partisipan penelitian, hanya jika penelitian melibatkan individu secara anonim atau dengan kata lain tidak melibatkan individu secara pribadi dan diasumsikan tidak ada risiko gangguan pada kesejahteraan atau keselamatan, serta bahaya-bahaya lain yang mungkin timbul pada partisipan penelitian atau pihak-pihak terkait. Penelitian yang tidak harus memerlukan persetujuan partisipan antara lain adalah:
a) penyebaran kuesioner anonim;
b) observasi alamiah;
c) penelitian arsip; yang ke semuanya tidak akan menempatkan partisipan dalam resiko pemberian tanggung jawab hukum atas tindakan kriminal atau perdata, resiko keuangan, kepegawaian atau reputasi nama baik dan kerahasiaan.

Rifani (2008) mengemukakan bahwa terdapat beberapa asas yang terkandung dalam Kode etik psikologi Indonesia, yaitu: asas confidentialitas, privacy dan privilege. Asas confidentialitas merupakan asas kerahasiaan, dimana dalam menjalankan profesinya, psikolog harus berpegang teguh kerahasiaan klien.
 Pada kode etik APA, prinsip tersebut terkandung pada prinsip kelima dari kode etik APA yaitu menghormati harkat dan martabat orang lain, dimana psikolog menghormati martabat dan nilai setiap orang serta hak individu akan keluasan pribadi (privacy), kerahasiaan, ketetapan hati seseorang. Psikolog menyadari bahwa pengamanan khusus mungkin dibutuhkan untuk melindungi hak dan kesejahteraan individu atau komunitas yang cukup rentan dalam pengambilan keputusan yang otonom. Para psikolog menyadari dan menghormati perbedaan budaya, individu dan peran, termasuk perbedaan usia, gender, identitas gender, ras, suku bangsa, budaya, asal kebangsaan, orientasi seksual, ketidakmampuan, bahasa dan status sosioekonomik, serta mempertimbangkan faktor-faktor tersebut pada saat bekerja dengan orang-orang dari kelompok tersebut. Psikolog berusaha untuk menghilangkan pengaruh bias dari faktor-faktor tersebut dalam bekerja dan berpartisipasi di dalam aktivitas tertentu atau mengabaikan aktivitas orang lain dari prasangka-prasangka tersebut. Asas confidentiallitas juga terkandung dalam standar etika keempat dari kode etik APA, yaitu keleluasaan pribadi (privacy) dan kerahasiaan (confidentiality), pasal 4.01 hingga pasal 4.07 mengenai menjaga kerahasiaan, mendiskusikan batas kerahasiaan, rekaman, meminimalisir intrusions dalam privacy subjek, disclosure, konsultasi dan menggunakan informasi rahasia untuk pendidikan dan tujuan lainnya (Tanpa nama, 2007).
Kode etik APA (Tanpa nama, 2007)lainnya yang membahas mengenai izin penelitian dan pemublikasian hasil penelitian antara lain:
1.      Pasal 10 standar etika ketiga tentang informed consent, dimana:
a.      Apabila psikolog melakukan penelitian atau mengadakan asessmen, terapi, konseling atau jasa konsultasi secara langsung atau melalui transmisi elektronik atau bentuk komunikasi lainnya, mereka mendapatkan persetujuan dari individu-individu yang menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh subjek, kecuali apabila melakukan aktivitas tersebut tanpa persetujuan diperbolehkan oleh hukum atau peraturan pemerintah, atau apabila tidak, diberikan oleh kode etik.
b.      Untuk orang-orang yang secara hukum tidak mampu memberikan persetujuan, psikolog tetap (1) memberikan penjelasan yang pantas, (2) mengusahakan persetujuan individu, (3) mempertimbangkan pilihan dan kepentingan terbaik orang tersebut, dan (4) mendapatkan izin yang wajar dari orang yang mendapatkan limpahan wewenang secara hukum, apabila pengganti tersebut diperbolehkan atau dipersyaratkan oleh hukum. Apabila izin oleh orang yang diberikan wewenang secara hukum tidak diperbolehkan atau dipersyaratkan oleh hukum, psikolog mengambil langkah-langkah yang cukup untuk melindungi hak dan kesejahteraan individu.   

2.      Standar etika kode etik APA ke-8 mengenai penelitian dan publikasi.
8.01   Persetujuan lembaga
8.02   Informed consent untuk penelitian
8.03   Izin untuk mencatat suara dan gambar dalam penelitian
8.04   Partisipan penelitian klien/pasien, murid, dan bawahan
8.05   Pengabaian ijin untuk penelitian
8.06   Membujuk untuk partisipasi penelitian,
8.07   Pengelabuan/penipuan dalam penelitian
8.08   Penjelasan singkat
8.09   Kepedulian kemanusiaan dan penggunaan binatang untuk penelitian, poin a, b, d, dan g.
8.10   Pelaporan hasil penelitian

PEMBAHASAN KASUS II
            Tindakan Loftus yang mempublikasikan dua artikel penyelidikan mengenai penganiayaan yang dialami oleh Jane Doe tanpa meminta izin terlebih dahulu ke Jane Doe telah melanggar pasal 47 dan 48 Kode Etik Psikologi Indonesia mengenai izin penelitian dan partisipan penelitian. Loftus juga melanggar standar etika ketiga pasal 10 tentang informed consent dan standar etika kedelapan pasal 1-10 APA. Meskipun Loftus telah berusaha menghubungi Jane Doe, tetapi tidak adanya izin langsung dari Jane Doe untuk mempublikasikan temuannya seharusnya membuat Loftus menunda penerbitan artikel tersebut sampai subjek dari artikel tersebut mengizinkan.
            Hal yang tersebut diperparah dengan “kebaikan hati” Loftus yang mengungkapkan identitas direktur rumah sakit tempat Jane dirawat, menyebut tanggal pernikahan orang tua Jane, dan usia jane ketika hal tersebut terjadi. Loftus menambah pelanggaran dari Bab V kode etik psikologi Indonesia mengenai kerahasiaan rekam dan hasil pemeriksaan psikologi, pasal 23, Pasal 24 mengenai mempertahankan kerahasiaan data dan Pasal 26 mengenai pengungkapan kerahasiaan data. Data subjek atau klien merupakan data yang harus dijaga kerahasiaannya. Kerahasiaan data subjek juga dimuat dalam prinsip kelima dari kode etik APA yaitu menghormati harkat dan martabat orang lain, dimana psikolog menghormati martabat dan nilai setiap orang serta hak individu akan keluasan pribadi (privacy), kerahasiaan, ketetapan hati seseorang. Asas confidentiallitas juga terkandung dalam standar etika keempat dari kode etik APA, yaitu keleluasaan pribadi (privacy) dan kerahasiaan (confidentiality), pasal 4.01 hingga pasal 4.07. Peneliti tetap harus meminta izin dari subjek ketika ingin mengungkapkan jati diri subjek. Kerahasiaan subjek penelitian dalam hal ini menjadi sangat penting demi menjaga perasaan aman dari subjek penelitian, termasuk ketika subjek kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri dari penelitian.

REFERENSI:
Brick. 2003. The Alleged Ethical Violations of Elizabeth Loftus in the Case of Jane Doe, (Online), (http://members.aol.com/smartnews/Loftus_Ethics.htm, diakses tanggal 21 April 2008).
HIMPSI. 2011. Kode Etik Psikologi Indonesia. Temu Ilmiah nasional dan Kongres XI.
Tanpa nama. 2007. Kumpulan Makalah Kode Etik. Rifani, R. 2008. Catatan Mata Kuliah Kode Etik (Tidak diterbitkan). Makassar: Fakultas Psikologi UNM.
Rifani, R. 2008. Catatan Mata Kuliah Kode Etik (Tidak diterbitkan). Makassar: Fakultas Psikologi UNM.

0 comments:

Template by:

Free Blog Templates